REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sektor energi menyumbang 34,49 persen emisi gas rumah kaca yang dihasilkan Indonesia. Pengurangan emisi di sektor energi perlu dicapai, termasuk melalui transisi energi dengan mengembangkan bioenergi. Berpotensi menyumbang 57 gigawatt, bioenergi telah menjadi salah satu andalan pemerintah Indonesia termasuk para pasangan calon presiden dalam mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT).
Namun sayangnya, menurut pengamatan Trend Asia, implementasi bioenergi yang ada selama ini hanyalah solusi palsu dan bukan solusi bagi transisi energi. Trend Asia secara khusus menyoroti implementasi bioenergi melalui co-firing (pembakaran bersama) biomassa pelet kayu dan batu bara di PLTU, dimana baru-baru ini pemerintah mengklaim berhasil mereduksi emisi hingga 1,05 juta ton CO2e melalui co-firing di 43 PLTU hingga akhir tahun 2023.
Dan menurut perhitungan Trend Asia, klaim netral karbon ini sebetulnya keliru karena pembakaran satu juta ton biomassa justru menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 1,7 juta ton emisi setara karbon.
“Jadi menurut pengamatan kami dari apa yang telah terjadi, bioenergi itu hanyalah solusi palsu. Karena klaim-klaim netral karbon itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan menurut perhitungan kami, rencana pemerintah untuk melakukan cofiring di 52 PLTU hingga tahun 2025 justru akan menghasilkan surplus emisi gas rumah kaca sebesar 26,48 juta ton emisi karbon,” kata Manager Program Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani dalam webinar tentang Bioenergi pada Rabu (10/1/2024).
Amalya juga menilai, cofiring biomassa hanya menjadi solusi palsu untuk memperpanjang umur PLTU dan pemakaian batu bara. Ia menyontohkan beberapa PLTU yang seharusnya ditutup karena sudah tua, seperti PLTU Paiton, PLTU Suralaya, dan PLTU Ombilin, hingga kini masih beroperasi karena mengimplementasikan cofiring dan dianggap menyumbang energi terbarukan.
“Padahal PLTU yang seharusnya pensiun itu mengeluarkan energi kotor yang terus berjalan, dan itu tidak dihitung. PLTU itu dianggap menyumbang energi terbarukan dengan klaim yang keliru terkait netral karbon,” tegas Amalya.
Tidak hanya emisi, implementasi bioenergi melalui co-firing juga berdampak buruk pada biodiversitas, pangan, perekonomian masyarakat dan budaya. Terkait dampak ekologi, kata Amalya, terdapat potensi deforestasi seluas 1 juta hektar untuk memenuhi kebutuhan biomassa untuk co-firing.
“Jadi sangat menarik, karena ketiga pasangan calon presiden kita mengklaim tidak akan melakukan deforestasi. Jadi apakah para paslon akan berani untuk menggagalkan deforestasi terencana yang sudah ada di program pemerintah sekarang. Itu menjadi pertanyaan besar kita semua tentunya,” kata Amalya.
Selanjutnya dampak sosial meliputi perampasan lahan, penyingkiran masyarakat dari wilayah kelolanya, perubahan status masyarakat dari pengelola lahan menjadi sekadar buruh, hingga kehilangan kebudayaan atau kearifan lokal.
“Untuk dampak ekonominya ada kerusakan lingkungan di sekitar PLTU, yang membuat petani dan nelayan menurun produksinya, yang otomatis menurunkan pendapatan mereka,” tegas Amalya.
Amalya juga mengungkap tiga contoh kasus dampak buruk dari cofiring di Mentawai dan Indramayu. Ia menjelaskan bahwa pembangunan 3 PLTBm di Pulau Siberut, Mentawai, mengakibatkan deforestasi terhadap hutan adat, perubahan corak produksi masyarakat adat dan mengancam ketahanan pangan, serta budaya lokal. Saat ini, masih ada izin HTE seluas 19 ribu hektare yang sebagian besarnya masih berupa hutan alam.
Praktik co-firing yang dilakukan pada PLTU Indramayu 1 juga justru memperpanjang dampak negatif yang dialami warga. Sawah dan perkebunan rusak, hasil laut semakin berkurang. gangguan pernapasan dan penglihatan akibat asap PLTU.