Jumat 19 Jan 2024 07:55 WIB

Ramai Soal Pajak Hiburan, Sebenarnya Tarifnya Naik atau Justru Turun?

Pelaku industri hiburan hingga pelaku seni mengomentari regulasi itu.

Rep: Tim Republika/ Red: Ahmad Fikri Noor
Pengunjung menyanyi di Inul Vizta, Lebak Bulus, Jakarta, Selasa (16/1/2024).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pengunjung menyanyi di Inul Vizta, Lebak Bulus, Jakarta, Selasa (16/1/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, Implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) memicu polemik. Salah satunya mengenai ketentuan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang di dalamnya diatur mengenai tarif pajak jasa kesenian dan hiburan.

Pelaku industri hiburan hingga pelaku seni mengomentari regulasi itu. Ada yang mempertanyakan dan bahkan memprotes. Lantas, seperti apa sebenarnya ketentuan pajaknya?

Baca Juga

UU HKPD sejatinya dirumuskan untuk mendukung tata kelola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang adil, selaras, dan akuntabel. Selain itu, beleid ini juga menjadi upaya untuk menata perkembangan desentralisasi fiskal serta mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.

Terkait PBJT untuk jasa kesenian dan hiburan, diberlakukan adanya pengaturan tarif yang seragam. Hal itu untuk menata batas atas dan bawah dari penarikan pajak jasa tersebut. Secara umum, PBJT jasa kesenian dan hiburan yang sebelumnya diatur paling tinggi sebesar 35 persen, kini justru menjadi hanya paling tinggi 10 persen. 

Bahkan, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati Christyana mengatakan, pemerintah juga memberikan pengecualian bagi jasa kesenian dan hiburan promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran. Itu, kata dia, menunjukkan pemerintah berpihak dan mendukung pengembangan pariwisata di daerah.

“PBJT atas jasa kesenian dan hiburan bukanlah jenis pajak baru. Sudah ada sejak Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD)," ujarnya dalam Media Briefing di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa (16/1/2024).

Tarif pajak sebesar 10 persen itu meliputi jasa kesenian dan hiburan berikut ini seperti disebutkan dalam Pasal 55 UU HKPD:

a. tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;

b. pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;

c. kontes kecantikan;

d. kontes binaraga;

e. pameran;

f. pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;

g. pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;

h. permainan ketangkasan;

i. olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;

j. rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;

k. panti pijat dan pijat refleksi

Kemudian, dalam pasal tersebut dipisahkan jasa hiburan yang mayoritas adalah kegiatan hiburan malam dalam poin (l) yakni diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa. Tarif PBJT atas kelompok ini ditetapkan paling rendah sebesar 40 persen dan paling tinggi 75 persen sesuai ketentuan Pasal 58 UU HKPD. 

Penerapan UU HKPD mendapatkan respons beragam. Bagi Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), aturan ini justru dinilai positif. Hal ini karena pajak hiburan secara umum mengalami penurunan tarif dan juga menjadi seragam. 

“Wahana permainan anak-anak, bioskop, dan sebagainya yang sebelumnya (pajak) masing-masing pemerintah daerah itu kan beda-beda setiap daerah, tapi kan sekarang dibatasi hanya boleh dikenakan bersama 10 persen,” kata Ketua Umum APPBI Alphonsus Widjaja saat konferensi pers di Jakarta, Kamis (18/1/2024).

Bahkan, Alphonsus berharap dengan adanya kebijakan ini bisa mendukung peningkatan kunjungan masyarakat ke pusat perbelanjaan. 

Sementara, bagi pelaku usaha yang terdampak kenaikan tarif menyatakan keberatannya. Penyanyi sekaligus pemilik tempat hiburan karaoke keluarga Inul Vizta, Inul Daratista, menyuarakan keluhannya terkait kenaikan tarif pajak hiburan sebesar 40-75 persen. Inul menilai, kenaikan pajak hiburan tersebut berpotensi melemahkan usaha-usaha yang terdampak.

"Pajak hiburan naik dari 25 persen ke 40-75 persen, sing nggawe aturan mau ngajak modyar tah (yang bikin aturan mau mengajak mati ya)," ungkap Inul melalui akun X pribadinya, seperti dikutip pada Ahad (14/1/2024).

Melalui video yang dia unggah, Inul menunjukkan bahwa kondisi usaha karaoke keluarga miliknya masih sepi pengunjung. Dari banyaknya ruangan yang tersedia di Inul Vizta, Inul memperlihatkan bahwa hanya sekitar dua hingga tiga ruangan yang terisi oleh pengunjung meski saat itu merupakan akhir pekan.

Dengan pajak hiburan sebesar 25 persen, Inul mengungkapkan bahwa sudah ada banyak pelanggan yang menyampaikan keluhan. Inul tak bisa membayangkan bila nanti usahanya harus dikenakan tarif pajak yang jauh lebih tinggi.

Terkait adanya protes dari sejumlah pelaku usaha, Kementerian Keuangan menjelaskan, bahwa ada ruang bagi pemerintah daerah dalam memberikan insentif fiskal. Hal itu sudah diatur dalam Pasal 101 UU HKPD. Sehingga, jika pelaku usaha meminta keringanan pajak dan pemda mengabulkan maka tarif pajak tersebut bisa diturunkan. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement