REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Salah satu pengungsi di tempat penampungan PBB di Gaza tengah menulis setiap hari ia melihat orang-orang di sekitarnya berkeliling mencari-cari sisa-sisa apa pun yang masih bisa digunakan di puing-puing bangunan yang hancur.
Dalam esai yang dipublikasikan Aljazirah, Sabtu (20/1/2024) penulis dan jurnalis Palestina Mohammed R Mhawsih menulis setiap malam di lahan depan tenda keluarganya ada orang-orang berlindung di bawah selimut dari cuaca dingin. Di siang harinya orang-orang yang sama berkeliling mencari apa pun yang bisa mereka bawa untuk keluarga mereka yang kelaparan, mencari benda apa pun yang masih selamat dari pengeboman.
"Ketika saya bergabung bersama mereka, saya melihat anak-anak menyisir puing-puing untuk mencari boneka mereka, remaja mencari buku sekolah mereka, orang tua mencari makanan dan orang lanjut usia mengais barang-barang dan putri, putri dan cucu mereka," tulis Mhawsih.
Dalam esai itu, ia menulis lebih dari 100 hari sejak Israel meluncurkan serangan ke Gaza kehancuran terjadi di mana-mana. Israel telah membunuh lebih dari 24 ribu orang. Seluruh Jalur Gaza berubah menjadi reruntuhan.
Pergerakan warganya dibatasi, kesulitan mendapatkan bantuan, barang-barang dan orang-orang tercinta mereka terkubur di bawah puing-puing. Di siang hari langit padat oleh pesawat perang sementara malam menyala terang akibat ledakan.
"Kehancuran memiliki bau. Bau busuk daging terbakar dan membusuk dari jenazah yang terjebak di bawah reruntuhan tidak dapat dihindari, menimbulkan resiko kesehatan dan trauma lebih banyak. Ini mengganggu imajinasi, memaksa pencari untuk mengenalinya sebagaimana adanya, jejak terakhir orang-orang, seperti kami, tapi tidak berhasil melarikan diri dari pengeboman," tulis Mhawsih.
Dalam tulisannya Mhawsih menceritakan pengalamannya saat mengantri untuk mendapatkan air. Ia bertemu Abu Ruhmy. Ruhmy bercerita sebelum mengungsi ke tempat penampungan PBB ia tinggal di apartemen putranya. "Saya tinggal di apartemen Shadi, bersama satu-satunya putra saja," kata Ruhmy. Ia mengatakan putranya tinggal di sana bersama istri dan dua anak mereka.
Ruhmy kehilangan kontak dengan keluarga putranya tujuh pekan yang lalu. "Saya mendengar mereka semua tewas," katanya. "Istrinya, Razan, hamil delapan bulan saat ia tewas," tambah Ruhmy.
"Mereka semua berharap dapat tinggal di luar Gaza di masa depan dan menunggu perang berakhir untuk dapat keluar." Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan: "Kini saya tidak bisa menemukan jenazah mereka. Tidak satu pun.
"Ini terlalu berlebihan. Saya langsung kembali ke kamar di mana saya tidur bersama istri saya, anak dan orang tua. Dada saya terasa berat. Yang bisa saya pikirkan, di satu titik, saya akan bangun dan ternyata semua ini hanya mimpi buruk, yang akhirnya akan berakhir."
Mhawsih menulis hingga saat ini bantuan masih sangat kurang. Obat-obatan, akses ke air bersih, listrik, makanan, pakaian hangat, tempat penampungan dan layanan untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk bertahan hidup masih sangat berharga.
"Setelah keluarga saya dibom pada 7 Desember pagi, kami masih berada di tempat tidur selama satu bulan, berjuang menghadapi demam yang berlangsung selama berminggu-minggu, saat demam berlanjut dan luka kami berdarah, kami hanya memiliki kotak bantuan pertama."
Ia mengatakan, sebagian besar rakyat Palestina di Gaza mengalami situasi serupa. Mhawsih menulis klinik, apotik dan komplek medis hancur dan tidak memiliki peralatan medis yang memadai, sudah tidak cukup untuk ratusan ribu orang yang membutuhkannya. Sebagian besar rumah sakit dibom atau dilarang mendapatkan peralatan dan tidak bisa berfungsi.
Salah satu kontributor buku A Land With A People itu menambahkan hampir semua yang terjadi berdasarka kebijakan Israel. Warga yang mengungsi ke selatan terpaksa tetap tinggal, karena jalanan diblokir dan tank berkeliling rumah atau pemukiman di utara dan tengah Gaza. "Laporan orang-orang ditembak saat mencoba keluar rumah mereka sekarang terjadi hampir setiap hari."
Ia menulis perang semakin kehilangan definisinya dalam gejolak di Gaza. Kini hanya pengeboman tiada henti. Mhawish mengatakan tidak ada satupun orang di Gaza memiliki kapasitas untuk pulih dari kengerian ini. "Kami harus pulih. Apa yang kami jalani sungguh amat luar biasa. Tapi, di mata sebagian besar dunia ini hal yang biasa."
"Kami membutuhkan gencatan senjata permanen. Kami membutuhkan ketenangan dan waktu untuk berduka. Kami harus tahu apakah nyawa kami bernilai," tambahnya. Ia menutup esai itu dengan mengatakan sampai masyarakat Gaza dapat hidup dengan damai dan aman, janji solusi sementara tidak akan memenuhi kebutuhan Gaza. Rakyat Palestina di Gaza adalah populasi yang diguncang perang selama lebih dari 100 hari. "Apa yang kami inginkan adalah yang diinginkan semua orang di dunia: perdamaian dan keamanan."