Kamis 22 Feb 2024 18:29 WIB

Kerusakan Lingkungan jadi Kerugian Negara, Pakar: Boleh Tapi Perlu Audit BPK

Kerugian atas kerusakan lingkungan di kasus PT Timah ditaksir capai Rp 271 triliun.

Rep: Ali Mansur/ Red: Agus raharjo
Dirut PT Rafined Bangka Tin Suparta dan Direktur Pengembangan PT Rafined Bangka Tin Reza Andriansyah Ditetapkan Tersangka Korupsi Timah  digiring ke mobil tahanan Kejagung, Rabu (21/2/2024).
Foto: Republika/Bambang Noroyono
Dirut PT Rafined Bangka Tin Suparta dan Direktur Pengembangan PT Rafined Bangka Tin Reza Andriansyah Ditetapkan Tersangka Korupsi Timah digiring ke mobil tahanan Kejagung, Rabu (21/2/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda, mengatakan memasukkan kerusakan lingkungan sebagai kerugian negara sah-sah saja dilakukan. Namun untuk membuktikannya Kejaksaan Agung (Kejagung) perlu audit dari  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 

Hal ini disampaikan Huda menanggapi langkah Kejagung yang memasukkan unsur kerusakan lingkungan sebagai kerugian negara.  “Untuk membuktikan adanya kerugian perekonomian negara itu termasuk kerugian karena kerusakan ekologis kan itu harus berdasarkan audit BPK,” ujar Chairul Huda saat dihubungi, Jumat (23/2/2024).

Baca Juga

Menurut Chairul Huda, di dalam undang-undangnya secara normatif itu ada dua bentuk kerugian. Pertama adalah kerugian keuangan negara berarti ini berkaitan dengan APBN dan APBD, kedua adalah kerugian perekonomian negara. Kata dia, kerugian perekonomian negara terkait dengan perekonomian secara umum dari negara. Misalnya kasus ekspor CPO minyak, karena negara harus mengeluarkan Bantuan Langsung (Tunai).

“Karena gangguan perekonomian yang timbul akibat ekspor CPO di maksud jadi memang ada harus ada perhitungan yang nyata dianggap sebagai sebuah kerugian katakanlah seperti itu,” jelas Chairul Huda.

Lanjut Chairul Huda, dalam kasus yang lain misalnya terkait tindak pidana korupsi lahan kelapa sawit atas terdakwa Surya Darmadi. Kata dia, dalam perkara itu sempat kerugian ekologi dianggap sebagai bentuk kerugian perekonomian negara. Namun kenyataannya ditolak oleh Mahkamah Agung (MA). Maka sebenarnya belum ada suatu dasar untuk menyatakan kerugian ekologis itu adalah kerugian keuangan negara.

Meski demikian, dalil bahwa kerusakan ekologi termasuk kerugian negara, harus dibuktikan di pengadilan. Namun persoalannya sudah ada kasus serupa yang menganggap kerugian ekologi  itu adalah bukan kerugian negara. Seperti dalam kasus Surya Darmadi tersebut yang ditolak oleh pengadilan. Apalagi antara kasus korupsi tambang timah dengan kasus korupsi kelapa sawit sama-sama menghitung kerusakan ekologis sebagai kerugian keuangan negara. 

“Kerusakan lingkungan karena bekas tambang katakanlah seperti itu nah dianggap sebagai kerugian negara dalam bentuk kerugian ekologis belum ada dalilnya. Jadi belum ada dalil yang cukup kuat untuk mengkonstruksi secara demikian,” beber Chairul Huda. 

Dalam perkara ini Kejaksaan Agung bekerja sama dengan ahli lingkungan untuk menghitung kerugian perekonomian negara yang disebabkan dugaan tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015 sampai 2022. Kerugian atas kerusakan lingkungan itu pun ditaksir mencapai Rp 271 triliun. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement