REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meta dianggap gagal menegakkan aturannya sendiri terkait ujaran kebencian anti-transgender atau transphobia di platformnya. Sebuah laporan baru dari GLAAD melihat ujaran kebencian soal LGBTQ justru semakin marak.
"Kelompok advokasi LGBTQ menemukan bahwa konten kebencian antitrans yang ekstrem masih tersebar luas di Instagram, Facebook, dan Threads," demikian dikutip dari Engadget, Jumat (29/3/2024).
Laporan tersebut menunjukan dokumentasi beberapa contoh perkataan yang mendorong kebencian dari aplikasi Meta. Hal itu menurut GLAAD, telah dilaporkan ke raksasa teknologi itu antara Juni 2023 dan Maret 2024.
Namun meskipun postingan tersebut dinilai merupakan pelanggaran kebijakan perusahaan, Meta menjawab bahwa itu tidak melanggar. Perusahaan juga tidak mengambil tindakan terhadap hal tersebut, menurut GLAAD.
Konten yang dilaporkan mencakup postingan dengan hinaan anti-transgender, bahasa yang kasar dan tidak manusiawi, serta promosi terapi konversi, yang semuanya dilarang berdasarkan aturan Meta. GLAAD juga mencatat bahwa beberapa postingan yang dilaporkannya berasal dari akun berpengaruh dengan audiens yang besar di Facebook dan Instagram.
GLAAD juga membagikan dua contoh postingan dari Threads, aplikasi terbaru Meta di mana perusahaan tersebut mencoba meminimalkan konten “politik” dan topik “yang berpotensi sensitif lainnya.
“Kegagalan perusahaan dalam menegakkan kebijakan mereka sendiri terhadap anti-LGBTQ, dan khususnya antikebencian terhadap trans, tidak dapat diterima,” kata CEO dan Presiden GLAAD Sarah Kate Ellis dalam sebuah pernyataan.
Meta tidak segera menanggapi permintaan komentar. Namun laporan GLAAD bukanlah pertama kalinya perusahaan tersebut mendapat kritik atas penanganan konten yang menargetkan komunitas LGBTQ. Tahun lalu Dewan Pengawas mendesak Meta untuk “meningkatkan keakuratan penegakan ujaran kebencian terhadap komunitas LGBTQIA+".