REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) dalam amar putusannya menolak kasasi CV Rajawali Diesel dalam perkara Ganti Rugi Desain Industri Produk Genset No 266 K/Pdt.Sus-HKI/2024.
Putusan Kasasi MA tersebut keluar pada 1 Maret 2024. "Tolak kasasi," demikian bunyi amar putusan yang diumumkan Kepaniteraan Mahkamah Agung.
Dalam perkara ini, pemohon kasasi adalah CV Rajawali Diesel. Sedangkan, pihak Termohon adalah Tommy Admadiredja dan PT Pelangi Teknik Indonesia.
Perkara ini semula diadili Pengadilan Niaga PN Jakarta Pusat dengan nomor perkara 76/Pdt.Sus-Desain Industri/2023/PN.Niaga.Jkt.Pst yang diputus pada 31 Oktober 2023.
Juru Bicara MA, Suharto, ketika dimintai tanggapan putusan kasasi dalam perkara tersebut meminta media untuk mengecek di link info perkara di Mahkamah Agung RI.
Ichwan Anggawirya kuasa hukum termohon dalam keterangannya pada wartawan, Kamis (4/4/2024) menyatakan MA sudah memutuskan perkara sesuai UU. Ia menegaskan pihak pemohon tidak memiliki legal standing seperti diatur dalam Undang-Undang yang berlaku.
Ichwan dari kantor hukum MASTER LAWYER ini menyatakan legal standing merupakan hak gugat bagi pihak yang ingin mengajukan permohonan gugatan ke pengadilan.
Ichwan merujuk Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri yang dengan jelas menyebutkan bahwa hanya Pemegang Hak Desain Industri atau penerima Lisensi yang dapat menggugat atas pelanggaran Desain Industri.
Sebagai pemegang Hak Desain Industri dibuktikan dengan adanya sertifikat Desain Industri yang dikeluarkan oleh direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Sedangkan penerima lisensi dibuktikan dengan adanya surat pencatataan perjanjian lisensi dari DJKI.
Ichwan Anggawirya mengungkapkan bahwa pemohon kasasi juga melaporkan pidana pemalsuan surat Pasal 263 KUHP kepada kliennya. Perkara ditangani penyidik Ditreskrimsus Polda Jateng atas laporan pihak CV Rajawali Diesel.
Menurut dia, penggugat mencampuradukkan pemahaman asas kebaruan (novelty) suatu Desain
Industri dengan pelanggaran Desain Industri dan juga dengan delik pidana umum Pasal 263 KUHP.
Akibatnya, lanjut Ichwan, kejanggalan-kejanggalanpun terjadi. Ia mempertanyakan kewenangan penyidik Krimsus Polda Jateng yang menangani laporan pihak CV Rajawali Diesel atas dasar pemalsuan surat yang belakangan baru diketahui saat gelar perkara khusus di Mabes Polri.
"Ternyata objek hukum yang dilaporkan adalah dokumen surat pernyataan ketika Terlapor mengajukan permohonan desain industri di Jakarta. Locus dan tempus delicti-nya mengapa bisa ada di Semarang? Lalu bagaimana pihak Pelapor bisa mendapatkan bukti dokumen tersebut, apakah sudah melalui cara-cara yang sah menurut hukum?" papar Ichwan.
Ichwan menambahkan laporan pidana yang dilayangkan pihak CV Rajawali Diesel menggunakan pasal tunggal 263 KUHP yang seharusnya ditangani oleh Ditreskrimum, bukan Ditreskrimsus.
Ichwan mengungkapkan dalam gelar perkara khusus di Mabes Polri, pihak kuasa Pelapor menyebut bahwa pengaduannya adalah berdasarkan keputusan pembatalan desain industri milik Terlapor yang keputusannya telah inkrah.
Sedangkan gugatan pembatalan desain industri terkait kebaruan (novelty) bukanlah merupakan pelanggaran dan tidak ada delik pidananya. Pidana desain industri terkait Pasal 9 UU No 31/2000 Tentang Desain Industri adalah jika membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, dan atau mengedarkan barang tanpa seizin pemilik hak. "Jadi tidak ada kaitannya dengan kebaruan," ceplos Ichwan Anggawirya.
Laporan pidana pemalsuan surat Pasal 263 KUHP, lanjut Ichwan juga tidak jelas. "Ini adalah pidana umum tapi pelapor mengkaitkan dengan kebaruan dan pelanggaran desain industri yang seharusnya merupakan lex specialist," ujar Ichwan.
"Tapi dengan ditolaknya kasasi atas gugatan ganti rugi ini maka sudah sepatutnya laporan pidana Pasal 263 KUHP ini dihentikan karena sudah tidak memenuhi unsur kerugian. Pelapor tidak dapat membuktikan kerugian yang di klaim mencapai Rp9 miliar dan tidak ada pemalsuan surat," tandas Ichwan.