REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) mendakwa Hakim Agung nonaktif, Gazalba Saleh menerima gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) mencapai Rp62 miliar. Fulus itu diberikan menyangkut penanganan kasus di Mahkamah Agung (MA).
Gazalba bersama pengacara asal Surabaya Ahmad Riyad didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp 650 juta dari Jawahirul Fuad soal berkas kasasi nomor 3679 K/PID.SUS-LH/2022.
Lewat pengurusan kasasi Fuad itu, Gazalba kebagian uang 18 ribu dolar Singapura atau sekitar Rp200 juta. Adapun sisanya yaitu sebesar Rp450 juta menjadi bagian Ahmad Riyad.
"Perbuatan terdakwa bersama-sama dengan Ahmad Riyad menerima gratifikasi berupa uang sejumlah Rp 650.000.000 haruslah dianggap suap karena berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugas terdakwa," kata JPU KPK Wahyu Dwi Oktafianto dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin (6/5/2024).
Gazalba tidak melaporkannya kepada KPK dalam tenggang waktu 30 hari kerja sebagaimana ditentukan UU. Padahal penerimaan itu dapat digolongkan sebagai gratifikasi.
"Padahal penerimaan itu tanpa alas hak yang sah menurut hukum," ujar JPU KPK.
Selanjutnya, Gazalba didakwa bersama pengacara Neshawaty Arsjad menerima uang Rp 37 miliar. Pemberian tersebut menyangkut pengurusan perkara Peninjauan Kembali (PK) atas nama terpidana Jaffar Abdul Gaffar dengan nomor perkara 109 PK/PID.Sus/2020.
Saat itu, Neshawaty merupakan kuasa hukum Jaffar. JPU KPK pun mengendus Neshawaty masih punya hubungan keluarga dengan Gazalba. Alhasil, PK Jaffar dikabulkan terdakwa Gazalba pada 15 April 2020.
Berikutnya, selama 2020-2022, Gazalba didakwa menerima gratifikasi 18 ribu dolar Singapura atau setara Rp 213 juta sesuai dakwaan kesatu, dan penerimaan lain berupa 1.128.000 dolar Singapura atau setara Rp 13,36 miliar, 181.100 dolar AS atau setara Rp 2,9 miliar, dan Rp 9.429.600.000.
Dengan demikian, total penerimaan gratifikasi dan TPPU Gazalba Saleh dihitung JPU KPK mencapai Rp 62 miliar. Gazalba lantas berupaya menyamarkan uang haram itu dengan berbagai cara.
"Dengan tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaannya, terdakwa (Gazalba) membelanjakan, membayarkan, dan menukarkan dengan mata uang harta kekayaan hasil korupsi di atas," ujar JPU KPK.
Atas dasar itulah, Gazalba didakwa dalam kasus gratifikasi melanggar Pasal 12B Juncto Pasal 18 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Kemudian untuk dakwaan kedua perkara TPPU, Gazalba didakwa melanggar Pasal 3 UU 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP Juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP.
Sebelumnya, KPK menahan Gazalba Saleh lagi pada 30 November 2023. Kasus ini berhubungan dengan dugaan penerimaan gratifikasi dan TPPU. Gazalba disebut KPK tak melaporkan semua penerimaan tersebut selama 30 hari. Aset yang sudah dibeli juga tak dicatatkan dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) oleh Gazalba.
Kasus ini berawal sejak Gazalba menduduki jabatan sebagai Hakim Agung Kamar Pidana MA RI sejak 2017. Dalam beberapa perkara dia ditunjuk untuk menjadi salah satu anggota Majelis Hakim yang menangani permohonan kasasi maupun peninjauan kembali di MA.
Sejumlah perkara yang pernah disidangkan dan diputus oleh Gazalba, diketahui terdapat pengondisian terkait isi amar putusan. Tujuannya, untuk mengakomodasi keinginan dan menguntungkan pihak-pihak berperkara yang mengajukan upaya hukum di MA.
Di sisi lain, KPK pernah menjerat Gazalba Saleh dengan kasus dugaan suap penanganan perkara di MA. Namun, majelis hakim Pengadilan Tipikor Bandung menjatuhkan vonis bebas Gazalba Saleh karena dinilai tidak bersalah dalam kasus tersebut.
Atas vonis bebas itu, KPK mengajukan kasasi ke MA. Namun, MA menolak kasasi itu pada Kamis (19/10/2023). Lewat putusan ini, Gazalba Saleh resmi menghirup udara bebas. Sebab, kasasi merupakan upaya hukum terakhir yang bisa dilakukan KPK selaku aparat penegak hukum.