Rabu 15 May 2024 13:00 WIB

Ribuan Pengungsi Palestina di Israel Peringati Hari Nakba

Ribuan bendera Palestina dikibarkan di utara Israel.

Rep: Lintar Satria/ Red: Muhammad Hafil
 Pendukung Palestina berbaris menuju Gedung Parlemen selama rapat umum menjelang Hari Al-Nakba (Bencana), di Melbourne, Australia, Sabtu (13/5/2023). Demonstrasi di seluruh Australia menandai 75 tahun
Foto: EPA-EFE/DIEGO FEDELE
Pendukung Palestina berbaris menuju Gedung Parlemen selama rapat umum menjelang Hari Al-Nakba (Bencana), di Melbourne, Australia, Sabtu (13/5/2023). Demonstrasi di seluruh Australia menandai 75 tahun

REPUBLIKA.CO.ID,HAIFA -- Ribuan bendera Palestina dikibarkan di utara Israel untuk memperingatkan pengusiran ratusan ribu rakyat Palestina dalam perang 1948 yang mengarah pada pendirian negara Israel. Pengunjuk rasa mendesak hak pengungsi untuk kembali ke rumahnya.

Sekitar 3.000 orang yang turun ke jalan juga mendesak diakhirinya perang Israel di Gaza. Warga turun ke jalan dekat Kota Haifa untuk memperingati Nakba atau bencana. Banyak mengibarkan bendera Palestina dan mengenakan kafiyeh selama peringatan tahunan itu. Jarang unjuk rasa Palestina diizinkan di Israel selama perang di Gaza.

Baca Juga

Banyak yang membawa botol minum dan mendorong kereta bayi selama unjuk rasa di jalanan berdebu. Satu orang membawa buah semangka yang menjadi simbol Palestina setelah Israel melarang bendera Palestina karena warna buah itu merah, hijau dan bergaris hitam. Beberapa orang menyerukan kemerdekaan Palestina dari pendudukan Israel.

"Ini bagian dari kemerdekaan kami, tidak hanya mengakhiri pendudukan tapi juga mengizinkan semua pengungsi dapat kembali ke tanah air," kata koordinator Koalisi Perempuan Melawan Senjata dan mantan anggota Dewan Daerah Lydd, Fidaa Shehadeh, Rabu (15/5/2024).

Sekitar 700 ribu rakyat Palestina diusir dari tanah air mereka selama perang 1948. Shehadeh mengatakan keluarganya diusir dari kampung halaman mereka di desa pesisir Majdal Asqalan ke Kota Lydd yang menjadi bagian Israel sementara sisanya ke Gaza. Ia menganggap dirinya sebagai pengungsi dalam negeri.

"Pengungsi tetap pengungsi (setelah 76 tahun kemudian)," katanya.

Shehadeh mengatakan paman dan bibinya di Gaza yang berhasil ia kunjungi pada tahun 2008 atas izin Israel, kini terpaksa kembali mengungsi karena pengeboman Israel. Ia mengatakan paman dan bibinya itu tidak tahu apakah mereka bisa atau kapan dapat kembali ke rumah mereka.

Shehadeh mengatakan ia hampir setiap pekan ia melakukan perjalanan ke Tepi Barat untuk mengisi kartu SIM elektronik kerabatnya agar mereka dapat terus berhubungan.

"Terkadang kami menunggu selama beberapa hari untuk menerima pesan 'selamat pagi' dengan begitu kami tahu siapa pun yang mengirimnya masih hidup," katanya.

Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan sudah lebih dari 35 ribu rakyat Palestina tewas dalam serangan Israel sejak Oktober lalu. Orang Arab seperlima populasi Israel. Mereka yang memiliki kewarganegaraan mengidentifikasi diri dengan orang Palestina di daerah pendudukan Tepi Barat, Yerusalem Timur dan Gaza.

Setiap tahun keturunan pengungsi Palestina yang terusir dari tanah air mereka pada tahun 1948 berkunjung ke desa-desa yang sudah hancur atau dihuni milisi Zionis.

Israel menolak hak rakyat Palestina untuk kembali ke rumah mereka karena dianggap ancaman bagi negara Yahudi. Mereka mengatakan pengungsi Palestina harus menetap di negara lain atau di negara Palestina di masa depan.

Kareem Ali yang berusia 12 tahun, membawa papan protes bertuliskan “Kakek dan nenek saya tinggal di Kasayir” ketika ia berbaris di samping ayahnya, Hamdan. Kasayir salah satu desa yang dikenang tahun ini.

Keluarga tersebut sekarang tinggal di Shefa'amr di Israel utara. Hamdan mengatakan selama bertahun-tahun ayahnya yang merupakan seorang petani, akan melewati desa yang sudah tidak berpenghuni dan memetik buah ara dari pohon yang masih ada.

“Ingatan kami adalah kekuatan kami,” katanya. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement