“Saya mah ada takutnya, ada was-wasnya. Namanya kita usaha, entar kejar-kejaran, entar kadang kalau ada Satpol PP atau Dishub, entar ada yang ngasih tahu, jadi geser dulu. Kalau udah enggak ada, baru balik lagi,” tuturnya.
Epi mengaku cukup paham dengan keresahan yang dirasakan oleh masyarakat saat menghadapi jukir liar yang memaksa untuk meminta bayaran. Namun, Epi menyebut dirinya bukanlah jukir liar semacam itu. Ia mengaku tidak pernah mematok harga kepada masyarakat yang diklaim telah dibantu olehnya.
“Enggak (mematok harga). Saya sedapatnya aja, enggak maksa orang buat ngasih. Memang ada (jukir liar lain) yang maksa, enggak dikasih marah-marah. Kalau saya mah enggak matok (tarif). Kadang dikasih Rp 100, Rp 200, saya mah seikhlasnya yang ngasih,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Epi bercerita bahwa dia memiliki pengalaman dijaring oleh pemerintah daerah setempat. Dia pun harus merogoh kocek hingga Rp 500 ribu per sekali terjaring.
“Saya dulu pernah, pas ngamen, kena dua kali, nebus Rp 1 juta. Satu kali terjaring Rp 500 ribu. Makanya saya wanti-wanti aja, sudah enggak mau lagi (dijaring),” ceritanya.
Saat disinggung mengenai akan dilakukannya pembinaan terhadap para jukir liar yang terjaring dalam sebulan ke depan, Epi mengaku tidak tertarik. Pembinaan itu diketahui merupakan langkah Dishub Jakarta untuk lebih memberdayakan keahlian para jukir liar untuk beralih pada pekerjaan lain. Sebab dia mengaku punya pendapatan yang lain pula dari berdagang kecil-kecilan.
“Ya katanya diajarin kerja, kayak menjahit atau apa. Saya kira ada bagusnya memang, tapi kan saya punya keluarga buat diurus. Saya juga sambil dagang, dagang kopi, jualan nasi,” tuturnya.
Harapan Epi...