REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Korea Selatan (Korsel) berencana menghasilkan 70 persen tenaga listriknya dari sumber-sumber energi bebas karbon seperti energi terbarukan dan tenaga nuklir pada tahun 2038, naik dari 40 persen pada tahun 2023. Hal ini merujuk pada draft blueprint bauran energi negara tersebut untuk 15 tahun ke depan.
Pemerintah tetap mempertahankan rencana sebelumnya untuk menambah empat pembangkit listrik tenaga nuklir pada 2038, sehingga totalnya menjadi 30. Selain itu, pemerintah juga berharap bisa meningkatkan output tenaga surya dan angin menjadi 72 gigawatt pada tahun 2030, dari 23 gigawatt pada tahun 2022.
“Presiden Yoon Suk Yeol telah berkomitmen untuk menyeimbangkan sumber-sumber energi, dengan menekankan pada tenaga nuklir sembari mengembangkan energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan Korea Selatan pada bahan bakar fosil impor,” demikian ungkap kementerian perindustrian dalam sebuah pernyataan seperti dilansir Reuters, Jumat (31/5/2024).
Rencana tersebut, yang disusun oleh para ahli dan menunggu finalisasi dari pemerintah, menargetkan kapasitas pembangkit listrik meningkat menjadi 157,8 gigawatt pada tahun 2038 dari 134,5 gigawatt pada akhir tahun 2022.
Kementerian memperkirakan konsumsi energi akan melonjak karena pusat data dan basis produksi chip yang besar akan berkembang untuk memenuhi permintaan akan kecerdasan buatan.
Sementara itu, sebanyak 12 pembangkit listrik tenaga batu bara yang akan berusia 30 tahun pada tahun 2037 dan 2038, juga akan digantikan oleh sumber-sumber energi bebas karbon seperti pembangkit listrik tenaga air yang dipompa dan pembangkit listrik tenaga hidrogen. Namun Korea Selatan akan mempertahankan rencananya untuk mengganti pembangkit listrik tenaga batu bara yang lebih tua dengan pembangkit listrik tenaga gas alam cair.
Pemerintah mengalokasikan 0,7 gigawatt pembangkit listrik untuk reaktor modular kecil pada tahun 2038 untuk mendukung pengembangan reaktor nuklir jenis ini guna mengantisipasi peningkatan permintaan global.