REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhyiddin dari Makkah, Arab Saudi
Hukum syara’ memberikan kelonggaran atau kemudahan (Rukhsah) bagi jamaah haji lansia, disabilitas dan jamaah sakit yang tealah diberangkatkan ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah haji.
Di antara amalan ibadah dan manasik yang tergolong sebagai keringanan hukum adalah diperbolehkannya berniat ihram sebelum sampai di miqat dan sah menurut hukum.
Pakar dan Konsultan Manasik Haji, KH Ahmad Kartono mengatakan, ketentuan tersebut disebabkan karena takut terlewati, atau karena tidak mengerti batas miqat, atau karena takut tertidur.
Menurut Kiai Kartono, pakar ilmu dalam bidang fikih Wahbah al-Zuhaily telah mengemukakan dalam kitabnya “al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu”, jilid 3 hal 72, sebagai berikut:
وان لم يعرف حذو الميقات المقارب لطريقه احتاط فأحرم من بعد بحيث يتيقن أنه لم يجاوز الميقات الا محرما, لأن الاحرام قبل الميقات جائز وتأخيره عنه لايجوز. فالاحتياط فعل ما لاشك فيه. وان لم يحاذ ميقاتا مما سبق أحرم على مرحلتين (89 كم) من مكة اذ لا ميقات أقل مسافة من هذا القدر. (الفقه الاسلامي وأدلته, المجلد الثالث, صحيفة 72).
Artinya: “Jika seseorang tidak mengenali garis lurus sejajar miqat yang berdekatan pada jalan yang dilalui, maka dia berihtiat (mengambil sikap kehati-hatian) lalu berniat ihram dari jarak jauh dimana dia berkeyakinan belum melewati miqat, karena boleh berniat ihram sebelum sampai miqat, sedangkan mengakhirkan niat ihram dari miqat tidak diprbolehkan. Apabila tidak melewati garis sejajar miqat sebagaimana yang tersebut diatas maka boleh berniat ihram pada jarak dua marhalah (89 kilometer) dari Makkah karena tidak ada miqat yang jaraknya lebih pendek dari ukuran jarak tersebut. (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid 3 hal 72).