REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG---Stunting atau gagal tumbuh kembang akibat kekurangan gizi kronis, masih menjadi persoalan di Jawa Barat (Jabar). Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) misalnya, menunjukkan angka prevelensi stunting di Jabar pada 2022 masih 20,2 persen. Rata-rata penurunan per tahun sebesar 1,7 persen dari target 3,5.
Menurut Ketua Tim Peneliti UIN Bandung, Dr H Asep Sahid Gatara, MSi CPS, jika penanganan stunting pada masa balita tak tuntas, menimbulkan permasalahan tumbuh kembang bahkan intelegensia pada saat remaja. Berdasarkan data pada 2018 menunjukkan di Jabar remaja yang berstatus kekurangan gizi sebanyak 17,4 hingga 21,4 persen.
Asep menjelaskan, kantung-kantung stunting remaja di Jabar ada di beberapa daerah. Berdasarkan data gizi remaja terakhir dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Prov Jabar tahun 2018, berdasarkan katagori tinggi badan di bawah standar dengan persentase di atas 25 persen berada di Kab Sukabumi, Cianjur, Garut, Kab Tasikmalaya, Ciamis, Kab Cirebon, Majalengka, Subang, Kab Bandung Barat, Kota Sukabumi.
"Melihat data ini, kami tim peneliti melakukan penelitian dengan mengangkat tema Strategi Percepatan Penurunan Stunting Remaja melalui Konsolidasi Gizi Berbasis Sains dan Politik," ujar Asep, Rabu (26/6/2024).
Asep menilai, dibutuhkan dukungan program lainnya agar percepatan penurunan stunting pada remaja dapat sesuai target. Karena, selama ini kebijakan Zero New Stunting, khususnya di Jabar dipandang belum cukup dalam mencapai target tersebut.
Kebijakan zero new stunting, kata dia, tidak menyentuh persoalan stunting pada remaja. Karena ia lebih fokus pada kelompok sasaran balita dan ibu hamil. Padahal dampak stunting pada remaja masih sangat tinggi sebagai konsekuensi ketika mereka stunting pada saat balitanya, tahun 2013-2014.
"Padahal, jika stunting pada remaja tidak teratasi maka akan membuka lingkaran stunting baru atau stunting yang berkelanjutan saat mereka menjadi pengantin, ibu hamil, dan melahirkan," katanya.
Percepatan penurunan stunting remaja, kata dia, berhubungan erat dengan unsur politik, baik politik statis maupun politik dinamis. Politik statis terkait dengan kehadiran negara melalui kebijakan pemerintah, serta komitmen dan visi kepemimpinan nasional, kepemimpinan daerah, dan kepemimpinan desa mengenai stunting.
Selain itu, kata dia, unsur politik statis juga terkait dengan keberpihakan pemerintah terhadap sasaran kelompok stanting. Saat ini, sasaran kelompok yang menjadi prioritas adalah Balita dan Ibu Hamil (Bumil). Hal itu seperti tercermin pada program Zero New Stunting. Sementara, unsur politik dinamis dapat disimak ketika stunting menjadi isu kampanye pada setiap musim kontestasi politik, seperti pada even Pilpres dan Pilkada.
Asep berharap, dengan melakukan penelitian pada remaja, bisa menghasilkan inovasi baru. Yakni, baik strategi maupun model dan program, bagi percepatan penurunan stunting melalui penerapan konsolidasi gizi terpadu berbasis sains dan politik.
"Kami pun berharap, bisa menghasilkan data dan peta jalan baru percepatan penurunan stunting remaja melalui penerapan konsolidasi gizi terpadu berbasis sains dan politik," katanya.
Hasil penelitian ini, kata dia, diharapkan bisa menghadirkan rekomendasi. Yakni, baik rekomendasi praktis mapun rekomendasi akademis. Rekomendasi praktis berupa strategi, model, dan rintisan program baru yang akan ditujukan kepada pemerintah dan para pemangku kepentingan lingkup percepatan penurunan stunting remaja.
"Rekomendasi akademis berupa teori yang akan ditujukan kepada para peneliti selanjutnya untuk menerapkan pengujian segala hasil penelitian ini dalam kajian strategis nasional. Selain itu, para peneliti dapat juga untuk mengembangkannya, baik dari aspek teori, metode maupun lokusnya," paparnya.
Kebaruan pada penelitian ini, kata dia, terletak pada strategi konsolidasi gizi terpadu. Karena melibatkan basis sains dan politik secara simultan. Sejauh ini, penelitian terdahulu tentang stunting remaja lebih banyak berfokus pada faktor penyebab stunting remaja, aspek intervensi pendidikan gizi, aspek asupan gizi, dan aspek olah raga. Namun, penelitian tersebut tidak menunjukkan keterpaduan antara ketiganya.
"Selain itu, selama ini penelitian cenderung mengabaikan aspek politik sebagai variable generik dalam penanggulangan stunting remaja," katanya.