REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Pedagang yang baik adalah yang mudah dalam membeli dan mudah pula dalam menjual” (HR Bukhari).
Tak sekadar perkataan, Rasulullah SAW sendiri mengamalkan bagaimana cara berdagang yang baik. Bahkan, contoh teladan itu dilakukan beliau sebelum diangkat menjadi utusan Allah SWT.
Saat usianya baru menginjak 25 tahun, Nabi Muhammad SAW telah menjadi seorang pebisnis yang sukses. Tak kurang dari 18 kali beliau melakukan ekspedisi dagang di rute dalam dan luar Hijaz.
Alhasil, Muhammad muda dapat memulai rumah tangga dengan lebih mapan. Saat menikah dengan Khadijah, mas kawin yang beliau bawa sebanyak 20 ekor unta dan 12,4 ons emas murni. Mas kawin itu terbilang sangat besar, bahkan untuk ukuran zaman sekarang.
Pedagang yang baik bermula dari mental mandiri dan pantang menyerah. Sejak masih anak-anak, Muhammad SAW telah hidup berdikari. Sebelum menjadi pedagang, beliau telah menggembala kambing milik orang-orang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Barulah ketika usianya 12 tahun, beliau mulai belajar berwirausaha. Dalam hal ini, peran pamamnnya, Abu Thalib, begitu besar. Ayahanda Ali (karamallahu wajhah) itu mengajak beliau ikut dalam rombongan dagang ke Suriah (Syam).
Saat usianya 17 tahun, Muhammad SAW muda semakin mahir berdagang. Tidak hanya ke Syam. Kafilah dagang yang dipimpin beliau sudah pernah berniaga di Yordania, Busra, Irak, Bahrain, dan Yaman—selain Hijaz sendiri.
Kunci-kunci sukses
Apa saja kunci kehebatan Muhammad SAW dalam berdagang? Pertama, beliau selalu menentukan terlebih dahulu segmentasi pasar. Dengan demikian, sosok berjulukan al-Amin itu dapat “membaca” permintaan pasar tentang suatu barang atau komoditas.
Yang dipelajarinya adalah kebiasaan, cara hidup dan kebutuhan sehari-hari para calon konsumen, yakni masyarakat tempatnya berdagang. Alhasil, misalnya, ketika datang ke kota A, barang-barang yang beliau bawa bisa jadi berbeda ketika beliau mendatangi kota B.
Kemudian, Nabi Muhammad SAW juga tak pernah mengecewakan pelanggan. Beliau tak membeda-bedakan pelanggan, apakah itu elite bangsawan, orang biasa, atau bahkan budak sekalipun. Menghormati pelanggan adalah poin penting untuk kelancaran bisnis.
Selanjutnya, bervisi ekspansi. Beliau dalam berdagang tak hanya berkutat pada satu atau dua pasar. Nabi SAW juga melakukan perluasan jangkauan bisnis ke banyak wilayah. Dengan begitu, reputasi dan pamor (branding) produk-produknya kian dikenal masyarakat luas.
Reputasi juga didapat dari jaminan mutu barang. Nabi Muhammad SAW selalu jujur dengan kualitas barang dagangannya, apakah itu ada kelebihan atau kekurangannya. Semua dijelaskan kepada para pelanggannya. Tidak pernah sekalipun beliau mengurangi takaran atau timbangan. Beliau juga tidak melakukan perang harga dengan sesama pedagang lainnya.
Alhasil, Muhammad SAW sebagai pedagang akhirnya menemukan self-branding. Beliau bahkan sebelum menjadi rasulullah sudah digelari masyarakat Arab sebagai al-Amin, ‘orang yang bisa dipercaya.’
Self-branding itulah yang memudahkan beliau dalam berbisnis. Malahan, tanpa modal sepeser pun, beliau dapat bekerja, yakni dengan menjualkan barang-barang dagangan milik orang lain. Dari situ, beliau mendapatkan imbalan dari proses bagi-hasil. Inilah yang dilakukannya dengan Khadijah—seorang perempuan saudagar sukses, kaya raya pula—sebelum keduanya menikah.