Pelbagai pemaparan tentang muasal istilah pesantren cenderung menegaskan cikal bakal lembaga itu tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan India. Di Indonesia, khususnya Jawa, dalam masa transisi sejak memudarnya pengaruh Hindu-Buddha hingga awal penyebaran dakwah Islam, Wali Songo mengislamkan sistem lembaga pendidikan setempat.
Turut terimbas hal itu adalah sistem pendidikan yang merupakan legasi kebudayaan dua agama “khas India” tersebut. Para mubaligh Muslim ini lalu mengembangkan sistem yang lebih islami, yakni pesantren, seperti yang kita kenal sampai sekarang.
Dalam sistem pendidikan pesantren, rentetan transmisi keilmuan (sanad) dipandang sangat penting. Sanad menunjukkan pentingnya otoritas dalam berilmu agama. Maka, bisa dipastikan, sosok kiai di pesantren mempunyai sanad dan kemudian mewariskan sanad itu kepada murid-muridnya—biasanya yang paling cemerlang.
Dalam corak pendidikan pesantren, terdapat beberapa ciri khas. Misalnya, adanya hubungan yang akrab antara kiai atau pendiri pesantren itu dan para santri. Kemudian, tiap warga pesantren menerapkan laku kehidupan yang sederhana atau mendekati zuhud, kemandirian, gotong royong, dan pemberlakuan syariat Islam. Selain itu, kehadiran mereka di tengah masyarakat bersifat mengayomi, alih-alih eksklusif dan berjarak.
Pesantren pun memiliki teknik atau metodologi pengajaran yang terbilang khas. Adanya sistem halaqah serta hafalan atas teks-teks dasar keilmuan agama, merupakan beberapa contoh. Zamakhsari Dhofier merangkum adanya lima unsur dasar dalam setiap pesantren, yakni asrama, masjid, para santri, pengajaran kitab-kitab kuning, serta figur sentral kiai. Ketokohan kiai itulah yang membuat sebuah pesantren menjadi ikon kota tempatnya berada.