REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 6 dan 9 Agustus 1945, dua kota penting di Jepang dibom atom oleh Sekutu. Inilah denting peringatan akhir dalam Perang Dunia II di Front Pasifik.
Imbasnya terasa hingga Indonesia, yang saat itu termasuk wilayah jajahan Dai Nippon. Pada 9 Agustus 1945, tiga tokoh bangsa Indonesia berangkat ke Dalat, Vietnam. Ketiganya adalah Sukarno, Mohammad Hatta, dan dr Radjiman Wedyodiningrat.
Seperti diceritakan dalam buku autobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang disusun Cindy Adams, keberangkatan mereka berlangsung secara rahasia. Bahkan, Bung Karno mesti menyembunyikan kabar ini dari keluarganya sendiri.
Sesampainya di Dalat, ketiga tokoh bangsa ditemui oleh Marsekal Hisaichi Terauchi. Ia adalah panglima tentara Jepang yang bertanggung jawab atas wilayah Asia Tenggara selama PD II.
"Sekarang, terserah kepada Tuan. Perintah Kaisar (Jepang) menyerahkan proses kemerdekaan sama sekali di tangan Tuan," ucap Sukarno menirukan perkataan Marsekal Terauchi kepadanya saat di Dalat itu, seperti dikutip dalam buku yang disusun Adams (hlm 248).
Sekembalinya dari Dallat, Vietnam, Bung Karno dan Bung Hatta didesak oleh para pemuda pejuang agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sebenarnya, Sukarno dan Hatta ingin lebih dahulu merundingkan masalah proklamasi kemerdekaan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Namun, para pemuda yang tidak sabar menanti itu justru menekan agar kemerdekaan segera diproklamirkan.
Pada dini hari pada 16 Agustus 1945, para pemuda itu menculik Bung Karno dan Bung Hatta untuk dibawa ke Rengasdenglok. Tetapi mereka kemudian diantar kembali ke Jakarta pada sore harinya.
Di malam harinya, Sukarno-Hatta berkumpul dengan para anggota PPKI dan para pemimpin pemuda. Mereka bermusyawarah untuk mewujudkan proklamasi kemerdekaan.
Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu berlangsung pada dini hari pukul 02.00-04.00 pada 17 Agustus 1945. Bertempat di rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1, Jakarta, mereka bermusyawarah tentang teks proklamasi.
Para tokoh yang menyusun teks proklamasi tersebut ialah Sukarno, Hatta, dan Mr Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Bung Karno sendiri. Sementara itu, di ruang lain hadir BM Diah, Sayuti Melik, Sukarni, dan Soediro.
Setelah rampung disusun, semua pihak yang hadir sepakat menyetujui isi konsep naskah tersebut. Sukarni--seorang pemuda revolusioner--mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi adalah Sukarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Sementara itu, teks proklamasi tersebut diketik oleh Sayuti Melik. Naskah itulah yang kemudian menjadi naskah proklamasi kemerdekaan yang autentik.
Selanjutnya, pada pagi harinya pada Jumat, 17 Agustus 1945, di kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir beberapa tokoh di antaranya Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Selain itu, datang pula tokoh-tokoh masyarakat dan sekitar seribu orang rakyat yang ingin menjadi saksi peristiwa penting dalam sejarah bangsa Indonesia tersebut.
Pada pukul 10.00 WIB pagi, Sukarno mulai membacakan teks proklamasi kemerdekaan dan kemudian disambung pidato singkat tanpa teks. Seusai memproklamasikan kemerdekaan, bendera merah putih yang dijahit oleh Fatmawati dikibarkan.