REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengadopsi dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas pencalonan dan syarat usia calon kepala daerah dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2024. Namun, proses revisi PKPU itu sempat menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Rahmat Bagja mengatakan, Bawaslu sudah berulang kali mengingatkan agar lembaga peradilan tak lagi mengeluarkan putusan terkait pemilu di tengah tahapan yang sedang berjalan. Pasalnya, dampak dari putusan itu dapat menimbulkan kerawanan.
"Kami sudah berkali-kali mengingatkan ini, ke depan tidak boleh ada putusan-putusan pengadilan yang diputuskan dalam tahapan penyelenggaraan pemilu dan pilkada, apalagi terutama dengan syarat," kata dia dalam kegiatan peluncuran pemetaan kerawanan pemilihan serentak 2024 di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Senin (26/8/2024).
Menurut dia, pihaknya memiliki pengalaman ketika MK mengeluarkan putusan terkait perubahan syarat bagi calon anggota DPD pada 2018. Ia menilai, adanya putusan itu membuat adanya perbedaan penafsiran antara KPU dan Bawaslu.
Alih-alih belajar dari pengalaman, MK justru mengulangi hal serupa, yaitu Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 saat tahapan Pilkada 2024 sudah berjalan. Apalagi, khusus Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK dinilai melebihi kewenangannya sebagai lembaga peradilan.
Menurut Bagja, akibat putusan itu, KPU menjadi kesulitan untuk mengambil sikap. Apalagi, dalam putusan itu MK membuat tafsir baru atas undang-undang (UU).
"MK membuat bukan hanya tafsiran baru, bahkan membuat aturan baru, sehingga kemudian banyak teman-teman akademisi mengatakan, kita harus objektif, akademisi mengatakan bahwa MK sudah berubah menjadi positivism judicial," kata Bagja
Ia menilai, lembaga peradilan sebenarnya hanya boleh memutus untuk menerima atau menolak. Dalam hal ini, MK dinilai sudah membuat aturan terkait ambang batas pencalonan oleh partai politik atau gabungan partai di Pilkada 2024.
"Jadi sebenarnya tidak boleh aktif judicial. Judicial itu tidak boleh aktif, harus pasif. Yang tidak boleh adalah menolak perkara, bukan membuat aturan," ujar dia.