Senin 16 Sep 2024 15:56 WIB

Indef: Keterbatasan Ruang Fiskal Bikin Ekonomi RI Rentan

Defisit APBN terjadi akibat lebih besar proporsi belanja daripada penerimaan negara.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Ahmad Fikri Noor
Ilustrasi utang.
Foto: Freepik
Ilustrasi utang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha M Rachbini mengatakan tingginya utang pemerintah tak lepas dari adanya persoalan defisit dari struktur dan komposisi APBN. Eisha mengatakan defisit APBN terjadi akibat lebih besar proporsi belanja daripada penerimaan negara.

"Maka untuk membiayai operasional diperoleh dari utang," ujar Eisha saat diskusi bertajuk "Warisan Utang Jokowi dan Prospek Pemerintahan Prabowo" di Jakarta, Ahad (15/9/2024).

Baca Juga

Eisha mencatat rata-rata defisit fiskal mengalami pelebaran sejak 2015 hingga 2023. Eisha menyebut selisih penerimaan dan pengeluaran terjadi gap yang sangat lebar. Kondisi ini diperburuk dengan adanya pandemi. Eisha mengatakan selisih rata-rata pendapatan dengan rata-rata pengeluaran sangat besar.

"Terjadi defisit minus 2,8 persen yang jika dilihat UU kueangan masih di bawah batas tiga persen, tapi jika dekat sekali dengan tiga persen maka implikasinya kita jadi tidak punya ruang fiskal yang memadai dan rentan alami shock risiko ke depan," ucap Eisha.

Eisha juga menyoroti rendahnya realisasi penerimaan pajak daripada target. Pasca pandemi, Eisha mengatakan realisasi penerimaan pajak cukup baik pada 2021-2023 akibat melonjaknya harga komoditas dunia lantaran situasi geopolitik.

Eisha menyampaikan penurunan penerimaan pajak di beberapa sektor seperti industri perdagangan dan sektor perdagangan menjadi indikator melemahnya daya beli. Eisha mengatakan penerimaan yang jauh menurun terjadi pada sektor pertambangan, dan harga komoditas mineral.

"Dibandingkan dengan negara lain segi rasio penerimaan pajak kita yang hanya 10,9 persen amat tertiggal jauh dibandingkan Malaysia, Filipina, Vietnam, apalagi Cina dan Jepang," lanjutnya.

Dari sisi neraca belanja, Eisha mengatakan keseimbangan primer terlihat belanja pemerintah pusat masih didominasi oleh pembayaran utang dan belanja pegawai. Sementara itu, belanja modal masih rendah dan terus mengalami penurunan.

"Utang diambil memang tidak produktif Karena dilihat komponen belanja modal, untuk membiayai belanja modal hanya sedikit. Digunakan bukan pada sektor produktif seperti akumulasi barang modal dan teknologi," sambung Eisha.

Eisha menilai alokasi utang untuk komponen belanja pegawai atau barang tidak bisa mendorong produktivitas untuk jangka panjang. Eisha mengungkapkan porsi utang terhadap PDB yang mana sisi penerimaan yang jauh dari pengeluaran sehingga terjadi defisit.

"Defisit ditutup oleh utang. Perolehan utang terbesar untuk membayar bunga utang. Narasi yang menyebut rasio utang vs PDB masih jauh dari 60 persen, namun harus dilihat secara proporsi utang kita dibagi pada utang jangka pendek 10 persen dan jangka panjang ada di 90 persen," kata Eisha.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement