REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sesudah jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin II, Bung Karno memberikan mandat. Kali ini, tugas menyusun kabinet diserahkan kepada tokoh non-partai, yaitu Bung Hatta. Maka terbentuklah Kabinet Hatta I pada Februari 1948.
Tidak ada satu pun wakil sayap kiri di dalam jajaran kabinet ini. Amir pun menyatakan diri sebagai oposan. Untuk menandingi Kabinet Hatta, Amir berupaya mengonsolidasi unsur-unsur kiri. Pada 28 Juni 1948, ia pun membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Pada saat itulah, kaum komunis di Tanah Air mendapatkan “amunisi” baru: pulangnya Muso alias Muso Manowar alias Paul Mussotte. Dedengkot Partai Komunis Indonesia (PKI) itu kembali ke Tanah Air bersama dengan Suripno.
Ceritanya bermula pada 11 Agustus 1948. Awak media telah mengetahui bahwa pemuda itu telah berangkat dari Praha. Tiba di Bukittinggi, Suripno disebut-sebut membawa serta seorang sekretarisnya yang bernama Suparto.
Dari Sumbar, keduanya segera ke Yogyakarta, yang saat itu merupakan ibu kota RI. Di istana negara, Suripno menyampaikan kepada Bung Karno tentang sambutan baik duta besar Uni Soviet untuk Ceko. Menurutnya, Moskow siap menjalin hubungan persahabatan dengan RI.
Bagi Hatta, Suripno telah bertindak keterlaluan. Sang perdana menteri (PM) menganggap, tindakan pemuda itu tidak tepat karena, berdasarkan Perjanjian Renville, RI dilarang melakukan hubungan luar negerinya sendiri. Katakanlah, Suripno memang telah mendapatkan mandat dari Bung Karno. Namun, hal itu terjadi dahulu ketika Amir masih menjadi PM. Begitu kini PM dijabat Hatta, otomatis mandat tersebut kedaluwarsa.
Bagaimanapun, bukan kasus Suripno yang terutama memantik perhatian insan pers. Adalah sosok Suparto yang lebih mengejutkan. Ternyata, “sekretaris” Suripno itu adalah kawan lama Bung Karno. Dialah Muso. Tokoh PKI ini memang pernah tinggal satu indekos dengan sang proklamator di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya.
Menurut Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, seorang wartawan menggambarkan pertemuan antara keduanya. “Bung Karno memeluk Muso dan Muso memeluk Sukarno. Mata berlinang. Kegembiraan ketika itu rupanya tidak dapat mereka keluarkan dengan kata-kata,” tulis jurnalis tersebut.
Gie mengomentari adegan ini sebagai sesuatu yang komikal sekaligus ironis. Sebab, beberapa hari kemudian Muso secara terang-terangan mencemooh Dwitunggal Sukarno-Hatta di depan umum. “Sejarah memang lucu. Muso akhirnya melancarkan revolusi di dalam revolusi Indonesia. Sesudah berpeluk-pelukan dengan bercucuran air mata di istana Presiden, 37 hari kemudian,” tulis akademisi Universitas Indonesia ini.