REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Founder Halal Corner Aisha Maharani menanggapi viralnya produk wine, beer, tuak, dan tuyul yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Menurut Aisha, halal self-declare belum bisa diterapkan di Indonesia karena ekosistem halalnya belum mendukung.
"Ya, sebenarnya sudah dari dulu sebelum ada halal self-declare, saya sudah menyampaikan bahwa metode ini belum bisa dilaksanakan di Indonesia yang ekosistem halalnya secara infrastruktur belum menunjang," kata Aisha kepada Republika, Selasa (1/10/2024)
Aisha menjelaskan mengapa ekosistem halal secara infrastruktur belum menunjang di Indonesia, contohnya sangat minimnya Rumah Potong Hewan (RPH) dan Rumah Potong Unggas (RPU). Sementara bahan-bahan intermediate yang seharusnya halal juga belum banyak di Indonesia.
Ia menambahkan, dari segi SDM para pendamping proses produk halal (P3H) terdiri dari berbagai latar belakang pendidikan yang minimal SMA. Mereka diberi pelatihan 2-3 hari saja, itu juga kadang pelatihannya online dan hanya melihat video, pelatihannya tidak menekankan pada pembahasan aturan sistem jaminan halal. Mungkin ada juga P3H yang pendidikannya S2 dan S3 tapi mungkin tidak banyak.
P3H hanya diarahkan untuk menginput data saja. Ini bukan bermaksud merendahkan teman-teman P3H, tapi karena memang mereka diajarinya seperti itu. Sehingga di lapangan akhirnya terjadi kesalahan-kesalahan, misalnya dalam praktik halal safe-declare.
"Saya sudah sampaikan kepada Ombudsman dan MUI bahwa critical point-nya memang kalau di halal self-declare itu di pelaku usaha (PU), P3H dan BPJPH sendiri sebagai verifikator yang terakhir adalah Komite Fatwa," ujar Aisha.
Aisha mengungkapkan, Komite Fatwa Produk Halal membingungkan, apakah mereka memakai standar fatwa yang sudah disepakati bersama yakni fatwa dari MUI. Sebab MUI sebagai lembaga pemberi fatwa yang sah di negara Indonesia.
Maka siapapun itu, maupun itu Komite Fatwa BPJPH harus mentaati Fatwa MUI. Pihak dari luar negeri pun juga sama standarnya dengan Fatwa MUI. Dalam Fatwa MUI, meski produknya halal tetap tidak boleh pakai nama yang terafiliasi dengan yang tidak halal atau haram, seperti wine dan tuak halal, itu tidak boleh.
"Sebenarnya yang saya disayangkan dari BPJPH, (mereka) main take down, seharusnya ada klarifikasi, kemudian kalau salah ya minta maaf, orang Indonesia itu pemaaf kok," ujarnya.
Sebelumnya, merespons laporan masyarakat terkait tuak, wine dan beer halal, MUI melakukan konfirmasi, klarifikasi dan pengecekan. MUI langsung melakukan investigasi dan menggelar pertemuan untuk mencari titik terang atas kasus ini.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Niam Sholeh memimpin pertemuan yang dilaksanakan secara hybrid di Kantor MUI pada Senin, (30/9/2024) sore.
Dari hasil investigasi dan pendalaman, terkonfirmasi bahwa informasi tersebut valid, produk-produk tersebut memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui jalur Self Declare, tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan tanpa penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI.
“Penetapan Halal tersebut menyalahi standar fatwa MUI, juga tidak melalui Komisi Fatwa MUI. Karena itu MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk-produk tersebut,” kata Kiai Niam.