REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah disarankan untuk menggunakan skema hitungan yang paling efisien guna menentukan tarif interkoneksi dalam rangka efisiensi industri telekomunikasi nasional. Tujuannya untuk memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat karena tarif telekomunikasi jadi lebih terjangkau.
"Pemerintah sebagai regulator seharusnya menerapkan tarif interkoneksi dengan batas atas sebagai acuan untuk mendorong dan mempromosikan persaingan usaha yang sehat di industri telekomunikasi nasional,” ujar Pengamat Telekomunikasi Bambang P Adiwiyoto, Selasa (14/3).
Menurut dia, penetapan tarif itu sendiri dapat mengunakan dua pendekatan, yakni ilmu ekonomi dan ilmu bisnis. Dari pendekatan ilmu ekonomi, tarif ditetapkan berdasarkan perpotongan antara kurva supply dan kurva demand.
Sedangkan menurut pendekatan ilmu bisnis, praktik full cost pricing terjadi apabila harga suatu produk dihitung oleh perusahaan berdasarkan biaya langsung per unit ditambah mark up untuk menutup biaya overhead dan keuntungan. Praktik ini sering digunakan pelaku usaha karena sulitnya menghitung secara tepat permintaan suatu barang dan menetapkan harga pasar.
Sedangkan dalam penetapan biaya interkoneksi, biasanya menggunakan salah satu metode dari tiga metode yang ada, yakni yaitu historical-cost approach, forward-looking approach, atau pendekatan biaya interkoneksi. Regulator dan operator sepakat memilih model pendekatan long run incremental cost (LRIC). LRIC adalah biaya tambahan yang timbul dalam jangka panjang dengan tambahan volume trafik untuk produksi spesifik. Model ini menghitung biaya untuk membangun kembali elemen jaringan spesifik dengan mempergunakan teknologi yang ada, dengan asumsi bahwa biaya operasi dan modal dimanfaatkan secara efisien.
"Sampai tahun 2015, Telkomsel ditetapkan sebagai acuan karena dianggap sebagai operator STBS paling efisien. Tapi berdasarkan perhitungan terakhir yang telah disampaikan dan diketahui oleh regulator, ada operator STBS lain yang dinyatakan paling efisien, dimana memiliki tarif interkoneksi paling rendah, bahkan jauh lebih rendah dari itu," ujar mantan anggota BRTI ini.
Meski demikian, regulator tetap mempergunakan angka perhitungan diatas sebagai acuan perhitungan tarif telekomunikasi. Padahal tarif Interkoneksi tersebut jauh lebih besar dari angka yang dimiliki salah satu operator STBS. Hal ini menyebabkan tarif telekomunikasi menjadi lebih mahal. Dalam kondisi seperti sekarang ini, tarif yang tinggi menyebabkan perpindahan surplus konsumer ke surplus produser.
Apabila regulator tetap mempergunakan angka perhitungan LRIC diatas sebagai acuan yang mengakibatkan sangat tingginya tarif telekomunikasi, menurut dia, konsumen berhak mempertanyakan karena bertentangan dengan ayat 3 Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. "Apabila regulator tetap mempergunakan metode LRIC, seyogyanya regulator segera melakukan perhitungan ulang tarif interkoneksi dengan mengacu kondisi operator yang paling efisien," ujar Bambang.