Senin 06 Feb 2017 05:50 WIB

Budaya Literasi Rendah Sebabkan Masyarakat Mudah Akses Berita Hoax

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Yudha Manggala P Putra
 Masyarakat dan pengiat media sosial saat mengelar kegiatan sosialisasi sekaligus deklarasi masyarakat anti-hoax di Jakarta,Ahad (8/1).
Foto: Republika/Prayogi
Masyarakat dan pengiat media sosial saat mengelar kegiatan sosialisasi sekaligus deklarasi masyarakat anti-hoax di Jakarta,Ahad (8/1).

REPUBLIKA.CO.ID, UNGARAN — Rendahnya budaya literasi atau membaca buku menjadi salah satu penyumbang penyebaran berita yang menyesatkan dan tidak sesuai fakta (hoax). Tak terkecuali di Indonesia yang berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa ini.

Berdasarkan hasil sebuah riset tingkat literasi masyarakat yang dilakukan di 61 negara, Indonesia berada di urutan kedua terbawah. Rendahnya tingkat literasi ini membuat masyarakatnya masih rendah dalam memilah berita yang sesuai fakta maupun berita yang menyesatkan.

Hal ini terungkap dalam Sarasehan Cerdas Sehat Bermedia Sosial, yang digelar Forum Wartawan Kabupaten Semarang (FKWKS) dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) Tahun 2017, akhir pekan kemarin.

Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho, mengatakan, rendahnya budaya literasi atau membaca buku di Indonesia menjadi penyebab maraknya penyebaran berita yang tidak sesuai fakta atau hoax.

Celakanya, Indonesia menjadi salah satu negara pengguna internet terbesar. Data Asosiasi Jasa Penyelenggara Internet Indonesia menunjukkan, di negeri ini ada lebih dari 130 juta jiwa  pengguna internet.

Bahkan dalam urusan pengguna gadget, Indonesia berada di posisi lima besar dunia. Rendahnya literasi membuat masyarakat Indonesia menjadi mudah mengakses dan bahkan ikut menyebarkan berita-berita atau informasi hoax. “Ini menjadi fenomena yang terjadi di masyarakat kita, akhir- akhir ini, hingga para petinggi Negara ini ikut angkat bicara,” katanya dalam paparan berjudul ‘Fenomena Hoax dan Mitigasinya’.    

Kebanyakan netizen, masih kata Aji –panggilan akrab Septiaji Eko Nugroho- jarang melakukan klarifikasi berita. Sehingga semua informasi, baik fakta maupun fiksi dengan gampangnya  ditelan secara mentah sebagai fakta terpercaya.

Hal ini menjadi masalah ketika yang dibicarakan adalah berita yang belum tentu atau belum terkonfirmasi kebenarannya. “Budaya literasi rendah, juga membuat masyarakat kita lebih mudah ‘membagikan’ dari pada menulis,” katanya menegaskan.

Ia juga mengenalkan aplikasi Turn Back Hoax. Aplikasi berbasis web dan Android. “Pengguna dapat mengakses contoh-contoh berita bohong dari berbagai situs dan bagaimana memperlakukan sebuah berita hoax,” kata Aji, di hadapan para pelajar dan komunitas muda Kabupaten Semarang.

Sementara itu, penulis yang juga seorang blogger Semarang, Dewi Rieke dalam kesempatan ini ikut berbagi tips bagaimana menulis dan memanfaatkan media sosial yang sehat. Ia memaparkan bahwa saat ini, masih banyak yang menganggap bahwa media sosial adalah dunia maya. Sehingga mereka juga bisa berperilaku sesuka hati serta seenaknya sendiri dalam menggunakan media sosial.

Padahal, meski dianggap sebagai dunia maya, apa yang diperbuat di media sosial akan berimbas pada kehidupan sehari-hari. Contohnya tak sedikit kasus pelaporan pencemaran nama baik terhadap pengguna Facebook.

Bahkan ada yang jauh lebih miris karena harus kehilangan nyawa hanya karena berawal dari perkenalan melalui media sosial. “Ini karena orang masih jamak melupakan etika ini dalam berhubungan di dunia maya,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement