Jumat 27 Aug 2021 16:02 WIB

Sikapi Kasus Penistaan Agama, Ini Kata Wakil Ketua MPR 

Tidak bijak jika setiap perbedaan disampaikan dengan menyinggung kelompok lain.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Agus Yulianto
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani menanggapi, soal maraknya kasus penistaan agama. Dirinya mengajak, seluruh masyarakat agar lebih bijak dalam menyampaikan pernyataan di ruang publik.

"Ya kita ini semua mesti bijaklah dalam menyampaikan sesuatu di ruang publik. Apakah ruang publik yang visual atau yang katakanlah audio saja atau yang tertulis bahwa apa yang kita pikirkan sekalipun kita yakini itu benar, tapi karena kita ada dalam masyarakat yang memang majemuk heterogen bhinneka, ya harus bijak saya kira," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat (27/8). 

Menurut Arsul, tidak bijak jika setiap keyakinan dan perbedaan disampaikan dengan menyinggung kelompok masyarakat lain. Apalagi, atas nama kebebasan berekpresi. 

Dia menegaskan, segala bentuk penistaan agama harus ditindak. "Kalau ada orang lain menyinggung kita katakanlah Kece menyinggung umat Islam, maka ya memang itu akan harus ditindak karena itu tidak bijak," ujarnya. 

Selain itu, Anggota Komisi III DPR RI itu, juga merespons kritikan masyarakat sipil terkait ketentuan hukum penodaan agama. Menurutnya, ketentuan hukum penodaan masih diperlukan dan akan dipertahankan dalam rancangan Undang-Undang KUHP yang akan datang. 

"Kenapa memerlukan itu? Karena kalau tidak ada hukumnya, maka akan terjadi main hakim sendiri. Apalagi, urusannya agama orang bersedia mati untuk mempertahankan apa yang diyakini. Karena itu, maka hukum positif itu akan tetap dipertahankan," ucapnya. 

Dia berharap, tidak ada perlakuan diskriminatif dalam penegakan hukum terkait penistaan agama. Selain itu, dia juga berharap, aparat penegak hukum membuka ruang keadilan restoratif.

"Saya lihat dalam kasus Muhammad Kece sebetulnya polisi sudah membuka ruang restorative dengan memanggil, tapi yang terjadi kan dia lari. Nah kalau yang (Yahya) Waloni saya belum cek apakah artinya kesempatan untuk melakukan restorasi dari apa yang oleh pelapornya itu dianggap sebagai penistaan terhadap agama Kristen itu sudah atau belum. Tetapi, kalau kemudian kesempatan untuk merestorasi dalam apa yang dianggap menista itu tidak dimanfaatkan tentu proses hukum wajar," terang politikus PPP itu. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement