Kamis 04 Aug 2022 14:41 WIB

MK Ungkap Keanehan Politik Tata Negara, Salah Satunya Pemaksulan Gus Dur

MK dalam kewenangannya belum pernah menangani perkara pemakzulan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto
Megawati Sukarnoputri  bersama Abdurrahman Wahid
Foto: EPA/BAGUS INDAHONO
Megawati Sukarnoputri bersama Abdurrahman Wahid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono mengungkapkan, masalah anomali politik tata negara yang tidak linear di masa lalu. Atas dasar itulah, MK hadir untuk menata hukum dan ketatanegaraan di Indonesia.

Hal tersebut disampaikan Fajar dalam Bimbingan Teknis Hukum Acara Pengujian Undang-Undang bagi Pengurus dan Anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi (Pusdik MK). Kegiatan itu diikuti 330 orang advokat secara daring dari wilayah kediaman masing-masing.

Fajar mulanya menyinggung mengenai pemakzulan yang dialami Presiden keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur). "Di masa lalu banyak sekali anomali politik tata negara yang tidak linear. Misalnya saja pada saat Indonesia menerapkan sistem pemerintahan presidensial, namun pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) justru terjadi di tengah masa jabatannya," kata Fajar dalam keterangan resmi yang dikutip pada Kamis (4/8). 

Padahal, Fajar menyebut, hal demikian tidak berlaku dalam sistem pemerintahan presidensial. "Pemakzulan itu dapat terjadi serta-merta jika sebuah negara menganut sistem pemerintahan parlementer," lanjut Fajar. 

Fajar menjelaskan MK, hadir untuk mencegah terjadinya anomali di masa lalu. Apabila ingin menurunkan presiden, maka harus melalui mekanisme peradilan dan pembuktian secara hukum dan bukan atas alasan politis. 

Meski hingga saat ini, diakui Fajar, MK dalam kewenangannya belum pernah menangani perkara pemakzulan. "Jadi MK dibentuk untuk menata hukum dan ketatanegaraan Indonesia supaya dalam koridor demokrasi sebagaimana yang dikehendaki undang-undang dasar," ujar Fajar.

Fajar mengatakan, bahwa dulu jika undang-undang disahkan oleh pembuat undang-undang, maka rakyat harus menerima dan menjalankannya tanpa bisa melakukan tinjauan atas dampak dari suatu norma yang telah ditetapkan tersebut. Usai reformasi dan hadirnya MK, warga negara yang menilai suatu undang-undang diduga menciderai hak konstitusionalnya, dapat mengajukan permohonan ke MK.

"Rakyat bisa melakukannya meskipun seorang diri dan tanpa didampingi advokat," ucap Fajar. 

Fajar juga menjelaskan, kehadiran MK melahirkan lapangan hukum baru. Misalnya, para advokat yang ada di lingkup hukum Indonesia membuat ruang baru berupa advokat konstitusi. 

"Inilah yang di dalamnya terdiri atas para advokat yang konsen pada isu-isu konstitusi," sebut Fajar. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement