REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Akademisi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Arum Martikasari, menilai hubungan jarak jauh atau lebih popular disebut Long Distance Relationship (LDR) menjadi sesuatu yang normal saat ini. Sebelum wabah virus corona merabak, LDR adalah sesuatu yang berat dan meresahkan.
Menurut Arum, masa karantina Covid-19 ini menjadi tantangan berat bagi produsen untuk mempertahankan branding yang telah dimilikinya. Jangan sampai LDR juga memutus hubungan dengan merek yang sudah melekat di masyarakat.
Maka, lanjut Arum, brand harus mampu merubah LDR menjadi new normal. Brand harus pandai-pandai merawat hubungan jarak jauh para custumernya secara lebih humanis. “Brand adalah pejuang LDR yang berjuang untuk menjaga relationship costumer dengan orang-orang yang mereka pedulikan. Brand sedemikian rupa menjaga hubungan mereka yang saat ini dipaksa berubah,” kata dosen Komunikasi Pemasaran UMM ini dalam seminar daring (webinar), Rabu (22/4) lalu.
Selain Arum pembicara lain adalah Director, head of Interface Indonesia Nava+ Group Kandi Windu dan kepala sekolah Kembali ke Akar, pendiri Youthlab yang juga pakar psikologi remaja, Muhammad Faisal. Prodi Komunikasi UMM menjadi host pada webinar yang dimoderatori Isnani Zuhrina ini. Webinar melalui aplikasi Zoom itu diikuti 100 peserta. Selain dari Malang, ikut juga beberapa peserta dari Jakarta, Belanda dan Malaysia.
Tema New Normal Indonesia Pascawabah Covid-19 menarik perdebatan pembicara maupun peserta. Kandi, misalnya, justru menganggap saat ini masyarakat bisa kembali pada kebiasaan lama yang dulu sangat normal. Akibat harus banyak hidup di rumah dan sekitarnya, banyak keluarga yang memiliki pekarangan cukup luas bisa kembali melakukan kegiatan bercocok tanam bahkan membuat jamu sendiri.
“Banyak teman saya yang memposting aktivitasnya dalam farm house, meracik jamu dari empon-empon. Rupanya corona telah membawa keluarga kembali ke dalam rumah dan melakukan aktivitas rumah bersama,” tutur Kandi.
Di sisi lain, corona juga merubah politik ekonomi dan kenegaraan secara signifikan. Kandi menyontohkan, alokasi anggaran militer yang digeser untuk penanganan kesehatan, melemahnya kediktatoran, pemimpin yang congkak dibungkam, serta menjadikan masyarakat lebih banyak berdoa.
Dalam dunia kampus, selain merubah cara pembelajaran ke daring, corona menjadikan kampus benar-benar unjuk gigi melakukan pelayanan kepada masyarakat luas. Tak sedikit kampus dipaksa melakukan riset lebih serius untuk menemukan obat maupun vaksin. Selain itu inovasi-inovasi membuat alat disinfectant dan alat-alat kesehatan yang urgen dibutuhkan saat ini. “Kampus-kampus mulai berkolaborasi secara volunteer untuk menolong sesama,” kata Kandi.
Sementara itu Faisal menyorot narasi besar yang merebak sebelum munculnya virus corona. Isu-isu industri 4.0, robotika, artificial intelligence, automation, dan lain-lain. Komoditas terbesar saat itu adalah kreativitas. Di masa covid-19 ini isu-isu itu seolah-olah ditantang untuk menjadi solusi.
“Di saat teknologi canggih sedang digencarkan, Covid-19 justru menuntut kembali pada hubungan manusia dengan manusia,” tutur Faisal pemerhati psikologi perkembangan dan penulis buku tentang generasi phi ini.
Menurutnya, gap generasi antara yang tua dan muda semakin terlihat. Anak muda berkiblat kepada eksternal, perilakunya lebih sering merujuk kepada dunia di luarnya. “Home quarantine Covid-19 memberikan banyak kesempatan anak muda untuk melihat dirinya dari suara hati,” terang Faisal. Itulah sebabnya, hikmah dari Covid-19 salah satunya memudahkan kita untuk kembali ke akar.
Dalam forum tanya jawab muncul berbagai opini. Dosen Komunikasi UMM, Jamroji, mengkhawatirkan jika distance learning akan membawa dampak pada melemahnya fungsi sekolah dan kampus. Berpegang pada pengalaman anaknya yang kuliah di ITB, merasa bahwa dengan kuliah dari rumah ternyata target materi pembelajaran tercapai. “Saya khawatir anak-anak merasa tidak perlu kembali ke kampus. Lebih efisien karena tidak perlu membayar kos,” ujarnya.
Muncul juga isu klenik yang semakin merebak di kalangan masyarakat perkotaan. Frida Kusumastuti, juga dosen Komunikasi UMM, berpendapat bahwa kepercayaan orang-orang dulu tentang sawan sekarang menemui relevansinya.
“Orang tua kita selalu menyuruh mencuci tangan dan kaki sebelum masuk rumah. Untuk itu disediakan kendi di depan rumah,” kata Frida.
Merespons pendapat itu, Faisal menyatakan justru itulah sebenarnya masyarakat dahulu sudah berfikir akan kebersihan dan kesehatan. Banyak kearifan nusantara. Hanya karena narasi yang dikembangkan berbeda, sehingga pada awalnya lebih sering ditolak oleh generasi sekarang. Gap generasi memang tak bisa dihindari.