REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andi Nur Aminah*
Satu tahun belakangan ini, ibarat biji kecambah, sebut saja saya membelah diri. Saya coba lebih menekuni satu hal, yakni berbisnis dengan terjun dan berkumpul dalam suatu komunitas. Saya akhirnya paham bahwa berjualan itu tidak hanya sekadar membuat produk, mempromosikannya, ada yang beli, dan saya dapat uang.
Ternyata, jika ingin serius, ada sejumlah tahapan yang harus dilakukan. Saat memutuskan bergabung dalam sebuah komunitas UMKM, kala itu, hal pertama yang harus saya lakukan adalah memindahkan status kependudukan saya. Saya pun hijrah dari yang tadinya ber -KTP DKI Jakarta menjadi KTP Depok.
Hampir setahun lamanya, saya tinggal di wilayah penunjang ibu kota ini, namun tak mendapatkan manfaat apa-apa dari hal yang berkaitan dengan dokumen kependudukan, gara-gara saya masih warga DKI. Sampai anak saya mendaftar di salah satu sekolah di Depok pun, saya belum bergeming memindahkan status kependudukan.
Hingga akhirnya, saat ingin bergabung di sebuah komunitas UMKM, sambutan hangat datang tapi dengan syarat yang harus saya penuhi: ber-KTP Depok. Saya coba mempelajari untung ruginya. Lalu terbayang, manfaat fasilitas pelatihan, pendampingan, pemasaran, pengurusan legalitas usaha, sertifikasi halal hingga pengurusan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dan lainnya. Dan semuanya itu akan diberikan secara gratis jika saya ber-KTP Depok.
Tanpa berpikir panjang, saya mengurus berkas dan memindahkan status kependukan itu, hingga resmi menjadi warga salah satu kota terpadat di Jawa Barat ini. Lalu apa langkah selanjutnya? Berbekal KTP baru, saya menemui RT/RW dan lanjut ke kelurahan untuk mendapatkan Surat Keterangan Usaha (SKU). SKU inilah yang menjadi pegangan awal saya untuk mendaftarkan diri sebagai salah satu UMKM yang terdata di Dinas Koperasi dan Usaha Mikro (DKUM) Kota Depok. Saya mengikuti proses lebih dari 10 bulan lamanya, hingga akhirnya bisa mengantongi Sertifikat Halal MUI. SKU ini belakangan digantikan dengan Nomor Induk Berusaha (NIB) yang bisa diurus sendiri dengan cara mendaftat secara daring.
Patut digaris bawahi, semua fasilitas tersebut saya peroleh bersama lebih dari 100 pelaku UMKM lainnya secara gratis. Saya bersyukur dan merasa beruntung tentu saja mendapatkan kesempatan dan menjalani proses ini.
Di luar sana, ada banyak pelaku UMKM yang belum tahu jika ada fasilitas-fasilitas yang disediakan sebagai bentuk dukungan pemerintah pada UMKM. Saya berandai-andai, jika harus mengurusinya sendiri, berapa banyak waktu dan biaya yang habis serta 'kebingungan' yang harus saya jalani.
Lantas kini, tiba-tiba UMKM seolah mendapat angin segar dengan hadirnya Omnibus Law.
Semangat dari Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja ini, adalah untuk memberi peluang bagi publik secara luas terlibat dalam kegiatan ekonomi. Ruh utama UU ini adalah mempermudah perizinan usaha.
Kemudahan perizinan usaha yang diterapkan adalah konsep izin usaha berbasis risiko. Artinya, kategori usaha di sini akan dipilah menjadi yang berisiko rendah, menengah dan tinggi. Jenis usaha dengan kategori risiko rendah dan menengah tidak perlu memakai izin yang rumit, tapi cukup mendaftar saja. Usaha dengan kategori risiko tinggi saja yang harus melalui proses izin yang ketat.
Bahkan, usaha kecil dan mikro bukan hanya tidak perlu izin, namun proses pendaftarannya pun diberi keringanan. Contohnya, mengurus sertifikat halal digratiskan, usaha kecil akan diberi fasilitas berjualan di tempat-tempat strategis seperti di rest area. Intinya usaha rakyat dimudahkan bergerak bahkan didukung.
UU Cipta Kerja, dari sisi kepentingan UMKM bolehlah diberikan apresiasi tinggi. Menkop UKM Teten Masduki menyebut setidaknya ada enam poin yang akan menguntungkan UMKM dan diatur dalam UU Ciptaker. Pertama, bisa mempermudah akses pembiayaan, akses pasar, akses pengembangan usaha, akses perizinan dan akses rantai pasok. Teten menyebut, 40 persen belanja pemerintah dan lembaga negara, saat ini akan diarahkan untuk membeli produk UMKM. Artinya, ini peluang yang sangat besar karena UMKM bisa menjadi suplier belanja pemerintah.
Kedua, UU ini membuka kesempatan besar bagi UMKM dalam menyerap tenaga kerja. Solusi penyerapan tenaga kerja ini akan berjalan beriringan dengan masalah kesulitan pemasaran yang selama ini jadi kendala UMKM. Coba bayangkan, dengan peluang mengisi ceruk 40 persen kebutuhan belanja pemerintah, akan berimbas pada terbukanya kesempatan kerja bagi orang-orang yang kehilangan pekerjaan, apalagi saat pandemi yang belum terkendalikan ini.
Ketiga, UU Ciptaker bisa memberikan kemudahan untuk memaksimalkan potensi startup lokal. Terlebih startup yang berasal dari kalangan anak-anak muda kampus yang terdidik.
Keempat, UU Ciptaker bisa memberikan penguatan dan proteksi terhadap persaingan dengan usaha besar. Teten menampik pandangan bahwa Undang-undang Cipta Kerja akan mendorong liberalisasi investasi yang akan menyingkirkan UMKM. Justru, kata dia, akan dilakukan pengaturan investasi yang bisa bermitra dengan UMKM.
Hal positif kelima adalah jaminan kredit program yang tidak harus berupa aset. Kegiatan UMKM pun dalam UU ini disebutkan dapat dijadikan jaminan kredit. Selama ini dalam sistem pembiayaan perbankan konvensional, hanya aset yang bisa menjadi jaminan untuk mendapatkan modal kerja maupun investasi. Tapi dengan adanya UU ini, kegiatan rencana usaha, order dan lain sebagainya bisa dijadikan semacam jaminan untuk mendapatkan modal kerja.
Keenam, UU Ciptaker bisa memberikan kesempatan berusaha yang mudah dan juga memiliki kesempatan untuk berkembang sebagaimana korporasi.
Sebagai catatan, BPS mencatat ada 7 jutaan warga menganggur tiap tahun, ditambah 2 juta tenaga kerja baru. Dan saat ini, jumlah penganggur berkali-lipat lantaran pandemi. Bahkan survei SMRC pada Juli 2020, menyebut ada 29 juta orang terkena PHK pada masa tiga bulan pandemi. Jadi, harus ada instrumen menyediakan lapangan kerja untuk begitu banyak orang yang telah kehilangan saat ini.
Kini, peluang UMKM untuk naik kelas, lebih melesat tinggi dan berkembang makin terbuka. Tinggal mengencangkan semangat dan jangan kasi kendor. Termasuk saat melihat makin banyaknya waralaba dengan brand-brand terkenal kini melantai di aspal jalanan, yang boleh dibilang tadinya adalah lapak UMKM. Karena pandemi ini, harus dihadapi bersama-sama.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id