REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti lembaga riset Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana mengatakan, proses sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) berpotensi memiliki kerawanan cukup tinggi. Menurut dia, konflik rawan terjadi di daerah karena persidangan perselisihan hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK) dapat dilaksanakan secara daring atau online.
"Karena kalau sebelum-sebelumnya kan memang sengketa terpusat di MK, jadi konflik dan keamanan tidak begitu terlihat. Berbeda jika sidang sengketa dilakukan di daerah," ujar Ihsan kepada Republika.co.id, Jumat (1/1).
Apalagi, kata Ihsan, pada Pilkada 2020, beberapa daerah punya sejarah konflik akibat pemilihan. Ia menuturkan, penyerahan dan pemeriksaan berkas permohonan perkara sebaiknya mengoptimalkan teknologi daripada langsung secara offline di kantor MK untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Menurut Ihsan, persidangan online dapat mencegah terjadinya kluster Covid-19 karena sebagian pasangan calon (paslon) menunjuk kuasa hukum atau advokat dari daerahnya. Tidak hanya mengandalkan para kuasa hukun yang berkantor di wilayah Jabodetabek.
Dengan demikian, lanjut Ihsan, kepolisian harus mengantisipasi dan memastikan keamanan saat tahapan sengketa hasil pilkada. Selain di MK, pengamanan juga harus dilakukan di daerah yang paslonnya mengajukan perselisihan hasil pemilihan.
"Kemarin saja ada beberapa catatan penyerangan terhadap penyelenggara kan. Ini bukti bahwa meskipun ada pembatasan, potensi-potensi keamanan masih cukup tinggi," tutur Ihsan.