REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana amandemen terbatas Konstitusi menggelinding bebas dan menimbulkan pro dan kontra publik setelah Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo menyinggung isu konstitusional ini pada sidang tahunan MPR (16/08) lalu.
Diketahui bersama bahwa, praktik kehidupan demokrasi masih mengalami pasang surut seiring dengan dinamika perkembangan politik di Indonesia. Secara konseptual pemikiran demokrasi yang berkembang di Indonesia dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran demokrasi di luar Indonesia.
"Demokrasi dan konstitusi telah menjamin dinamika politik dan sistem ketatanegaraan berkembang sesuai kehendak dan kebutuhan politik kebangsaan, selama agenda konstitusional ini tidak sedikitpun menegasikan kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan di republik ini", ungkap wakil ketua DPD RI Sultan B Najamudin di Jakarta pada Sabtu (04/09).
Sebagai Negara Bangsa yang kompleks, menurut Sultan, Pada hakikatnya Indonesia hingga saat ini masih mencari sistem dan pendekatan demokrasi yang relevan dengan Pancasila dan jatidiri bangsa Indonesia. Akibatnya sistem ketatanegaraan kita terkesan hibrid dan cenderung menjauhkan bangsa dari cita-cita negara kesejahteraan yang adil makmur.
"Sehingga pilihan amandemen UUD 1945 untuk ke-5 kalinya dinilai tepat. Namun, jika amandemen hanya terbatas pada penambahan kewenangan menyusun PPHN keterlibatan MPR dalam RAPBN, rasanya sangat nanggung dan justru akan mengganggu titik keseimbangan dan harmonisasi ketatanegaraan kita. Bahwa, Memaksa eksekutif bekerja sesuai PPHN dalam sistem presidensial, merupakan praktik Komando Politik yang tidak proporsional bagi hubungan antar lembaga eksekutif dan legislatif," tutur mantan wakil Gubernur Bengkulu ini.
Jika kita benar-benar serius melakukan pembaharuan konstitusi, tegasnya, tidak boleh setengah-setengah apalagi setengah hati sesuai kehendak politik kelompok Politik tertentu. Maka penting untuk kita kaji ulang secara detail tentang bagaimana keterkaitan kausalitas antara pasal yang satu dengan pasal lainnya.
"Kami ingin mengatakan bahwa, penambahan PPHN ataupun klausul lainnya secara parsial tentu akan mengakibatkan kerancuan konstitusi. Kita tak mungkin menugaskan presiden untuk melaksanakan tugasnya sesuai PPHN, sementara di saat yang sama presiden merasa sangat dominan (executive heavy) dengan legitimasi electoral-nya sebagai daulat langsung rakyat", ujarnya.
Bisa dibayangkan betapa rancunya sistem demokrasi konstitusional yang demikian. Kita memandang Indonesia harus memiliki pedoman pembangunan bangsa yang disebut PPHN, tapi tidak lantas menyebabkan keseimbangan politik demokrasi perwakilan yang seimbang (check and balance).