Rabu 22 Sep 2021 05:11 WIB

Protokol Menuju Endemi

Kematian akibat Covid-19 banyak karena pasien tidak mendapat perawatan medis maksimal

Pasien Covid-19 dirawat di tenda darurat khusus Covid-19 di RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta, Kamis (1/7). Saat itu RS penuh karena membludaknya penderita Covid-19. (foto ilustrasi)
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Pasien Covid-19 dirawat di tenda darurat khusus Covid-19 di RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta, Kamis (1/7). Saat itu RS penuh karena membludaknya penderita Covid-19. (foto ilustrasi)

Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Penurunan kasus Covid-19 dalam beberapa pekan terakhir memang istimewa. Sangat signifikan. Semua indikator terus membaik. Keterisian rumah sakit rujukan Covid-19 turun drastis, kasus harian relatif rendah, kasus aktif terus berkurang menjadi ‘hanya’ 60 ribu, hingga positivity rate bahkan di kisaran 2 persen dalam sepekan terakhir.

Indikasi penurunan ini lantas memunculkan skenario untuk mempersiapkan pandemi Covid-19 ini menjadi endemi. Beda keduanya secara sederhana, pandemi yakni wabah penyakit yang terjadi secara serentak di berbagai belahan dunia, seperti Covid-19 saat ini. Sedangkan endemi, penyakit yang terjadi di wilayah tertentu dengan jumlah kasus yang relatif rendah, seperti demam berdarah dengue (DBD). Yang perlu digarisbawahi adalah virusnya tidak hilang.

Konsekuensi jika Covid-19 menjadi endemi tentu kasus kematian sangat mungkin bisa ditekan. Sebab yang sakit bisa mendapat perawatan maksimal. Dan yang diharapkan dan dinanti oleh banyak di antara kita, adalah belenggu berbagai pembatasan sosial maupun ekonomi bisa segera kita lepaskan.

Tetapi untuk menuju ke sana memang tidak singkat gampang. Bayang-bayang kekhawatiran terjadinya lonjakan Covid-19 di berbagai negara masih menghantui. Bahkan negara yang telah memvaksinasi mayoritas warganya. Dengan kata lain, kembali terjadinya outbreak masih sangat memungkinkan.

Pemerintah sudah mendeklarasikan persiapan skenario menuju endemi meski belum final. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan skenario penanganan Covid-19 ketika pandemi berubah menjadi endemi. Skenario ketika status berubah menjadi endemi, estimasinya ada 1,9 juta kasus Covid-19 dalam setahun.

Dari jumlah itu, 20 persen atau sekitar 380 ribu mendapat perawatan. Jika dirata-rata, per hari ada 1.000-an orang yang dirawat di seluruh Tanah Air. Perawatan terhadap sejumlah orang terkonfirmasi tersebut, dihitung masih akan bisa maksimal. Sehingga angka kematian diharapkan bisa ditekan serendah mungkin.

Saya coba ilustrasikan dengan kasus DBD yang statusnya adalah endemi. Data Kemenkes menunjukkan, pada 2020, ada 95.893 kasus DBD dengan kematian sebanyak 661. Artinya, angka kematian tak lebih dari 1 persen.

Fatality rate atau tingkat kematian kasus Covid-19 saat ini berada di kisaran 3 hingga 4 persen. Atau dari total 4,1 juta kasus terkonfirmasi positif, 140 ribu di antaranya meninggal dunia.

Saya tidak sedang hendak membandingkan lebih berbahaya mana di antara kedua penyakit yang sama-sama disebabkan virus itu. Tetapi dengan kasus yang lebih terkendali atau perawatan yang maksimal, kematian akibat penyakit DBD terbukti bisa ditekan hingga di bawah 1 persen.

Sangat mungkin itu juga berlaku untuk Covid-19. Kita belum lupa jika tidak sedikit kematian akibat Covid-19 ketika lonjakan pada Juli lalu disebabkan lantaran pasien tidak mendapatkan perawatan yang semestinya. Banyak pasien isolasi mandiri meninggal.

Pada akhir Juli lalu, LaporCovid-19 mencatat ada 2.656 pasien isoman meninggal karena tak mendapat perawatan. Fenomena itu diyakini puncak gunung es. Artinya, ada lebih banyak lagi pasien yang bernasib sama tapi tak tercatat. Jika pasien Covid-19 yang bergejala sedang hingga berat mendapat perawatan sebagaimana mestinya, ceritanya tentu bisa lain. Ini tidak sedang berbicara tentang apa yang telah terjadi. Tetapi menjadikannya sebuah pelajaran untuk yang akan datang, adalah keharusan.

Indonesia sedang berada dalam tren positif pengendalian Covid-19. Tapi kemungkinan terjadi lagi outbreak juga tidak sepenuhnya hilang. Artinya, situasi yang baik saat ini perlu untuk dipertahankan dan optimisme harus terus digelorakan. Sedangkan kepanikan tak perlu untuk dibesar-besarkan, namun kewaspadaan harus tetap ada pada setiap individu.

Maka protokol untuk menuju endemi, tak lain adalah kolaborasi. Semua bergandeng tangan. Pemerintah perlu menyiapkan secara detail dan presisi tentang segala sesuatu untuk menuju ke sana. Perangkat yang ada harus dimaksimalkan sepenuhnya. Semua variabel harus dikalkulasikan secara matang. Di sisi lain, kemungkinan terburuk juga harus diantisipasi.

Kita, masyarakat, harus tetap disiplin dengan langkah-langkah pencegahan. Sama seperti halnya penyakit DBD, Covid-19 pun bisa dicegah. Jika DBD bisa dihentikan dengan membunuh atau menghambat perkembangbiakan nyamuk sebagai vektornya, maka penularan Covid-19 bisa dicegah, salah satunya dengan penggunaan masker yang benar. Vaksinasi juga perlu. Sebab, ini salah satu cara membuat kita kebal selain infeksi alami. Atau minimal tidak sampai bergejala berat jika sampai terinfeksi.

Sekecil apapun kemungkinan baik yang ada, kita wajib mengusahakannya. Allah memerintahkan manusia untuk berikhtiar. Semoga jalan ikhtiar bangsa ini diridhai-Nya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement