Oleh: Al Chaidar Abdurrahman Puteh, Dosen dan Peneliti Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.
Publik Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada kontroversi tentang pesantren Al Zaytun di Indramayu, Jawa Barat, yang dipimpin oleh Syekh Panji Gumilang alias Abdul Salam Rasjidi atau lebih dikenal sebagai Abu Toto di kalangan komunitas klandestin KW-9 (Komandemen Wilayah 9) NII (Negara Islam Indonesia).
Banyak peneliti menyebutkan bahwa NII yang berada di belakang pendanaan pesantren ini adalah NII palsu yang merupakan program defeksi oknum intelejen. Kontroversi lainnya, pesantren ini mempraktekkan nyanyian dan doa a la agama Yahudi yang berisi puji-pujian kepada negara Israel. Selain itu, pesantren ini mengizinkan santrinya prostitusi asalkan bisa membayar fidyah (denda) kepada pimpinan pesantren untuk mendapatkan pengampunan dosa.
Selain itu, Panji Gumilang juga menyatakan bahwa Pesantren Al Zaytun bermazhab Ahmad Soekarno yang sangat mengejutkan banyak pihak karena selama ini belum dikenal mazhab tersebut. Panji Gumilang selanjutnya meluncurkan program pembuatan 90 kapal yang diklaim seukuran bahtera Nabi Nuh (365m). Kontroversi lainnya adalah menyatakan bahwa Al Quran adalah kompilasi sabda Nabi Muhammad dan bukan kalam Allah. Inilah yang kemudian menuai reaksi dan protes dari berbagai kalangan sehingga pesantren Al Zaytun didemo oleh warga Indramayu atas penistaan agama oleh Panji Gumilang.
Demikian saktinya, Panji Gumilang malah dijaga oleh polisi bak seorang sultan yang sangat berkuasa. Banyak pihak yang bertanya ke saya bagaimana dan mengapa sikap Panji Gumilang demikian? Sebagai peneliti yang pernah melakukan studi etnografi gerakan NII KW-9, saya mencoba menjelaskan kontroversi ini dari perspektif Karl Mannheim (1936 [2013]), Paul Ricouer (1976) dan Vincent Geoghegan (2004). Panji Gumilang dan jajaran KW-9 menganut aliran keagamaan Isa Bugis sebagai ideologi pergerakannya.