REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kasus pornografi dan pornoaksi yang akhir-akhir ini mencuat terkait beredarnya rekaman adegan porno vokalis Grup Peterpan Ariel dengan Luna Maya dan Cut Tari mendapat sorotan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah.
Di hadapan Sidang Paripurna DPD RI di Komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Jumat, Ketua DPD Irman Gusman mengatakan, kasus pornografi dan pornoaksi itu menandakan sebagian masyarakat Indonesia tidak lagi mengagungkan lembaga perkawinan dan menabukan hubungan seksual sebelum menikah. "Kasus-kasus tersebut menggambarkan dinamika dan pergeseran sosial yang menjauhi budaya ketimuran. Padahal, budaya Indonesia mengagungkan lembaga perkawinan dan menabukan hubungan seksual sebelum menikah yang dilarang agama dan tentu saja bertentangan dengan pandangan yang menghormati nilai-nilai susila," katanya.
Irman didampingi Wakil Ketua DPD Laode Ida dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas menjelaskan, DPD memprihatinkan kasus-kasus itu. Jika dibiarkan sangat membahayakan generasi muda yang gampang mengakses informasi sebagai konsekuensi modernisasi, globalisasi, dan liberalisasi.
Irman berharap, pemerintah segera membuat regulasi pornografi dan pornoaksi yang jelas dan tegas agar kasus-kasus serupa tidak terulang dan bisa menjerat pelakunya dengan hukuman yang setimpal. "Karena sampai saat ini, undang-undang yang ada belum dapat menjerat pelakunya ke jalur hukum," katanya.
Penyanyi Nazriel Irham alias Ariel menjalani pemeriksaan di Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Jumat sekitar pukul 10.20 WIB, dalam kasus peredaran video porno. Kasusnya ditangani
Unit III Perempuan dan Anak Direktorat I Keamanan Trans Nasional Bareskrim Mabes Polri.
Ketiga figur terkenal itu terancam terkena pasal berlapis karena secara sadar mendokumentasikan hubungan intim yang menyebar kepada masyarakat sehingga menjadi tindakan asusila. Ketiganya dapat dikenai Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan ancaman penjara 12 tahun, Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman penjara enam tahun dan denda Rp1 miliar, dan Pasal 282 (asusila) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).