REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Mantan Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, yang sedang berada di Kairo Mesir merasa kehilangan atas wafatnya KH Idham Chalid. Ia menilai, pendahulunya di PBNU itu sebagai sosok yang luar biasa, bukan saja karena sejumlah jabatan tinggi yang pernah disandangnya, namun juga kearifan dan ketajaman pandangannya.
Sebagai tokoh NU yang berproses dari bawah, Hasyim mengaku punya banyak kenangan bersama Kiai Idham, terutama saat ia masih menjabat sebagai Ketua PMII Cabang Malang dan Kiai Idham telah menjadi Ketua Umum PBNU. ''Ketika itu, ingat saya tahun 1967, saya datang ke Jakarta sebagai Ketua PMII Cabang Malang sekaligus Ketua KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) konsulat Malang. Saya niat memprotes Pak Idham kenapa tidak mendukung gerakan Pak Subhan ZE yang menuntut demokratisasi Indonesia di awal Orde Baru,'' ujarnya kepada Republika di Jakarta, Senin (12/7).
Menurut Hasyim, saat itu PMII di bawah kepemimpinan Zamroni sangat fanatik kepada Subhan ZE, tokoh muda NU yang memimpin gerakan prodemokrasi, termasuk menentang menghadapi demokrasi terpimpin pada era Presiden Soekarno. Ketika diterima Kiai Idham yang saat itu merupakan Ketua Umum PBNU, kata Hasyim, dia pun menumpahkan semua 'unek-unek' yang ada di kepalanya.
Menanggapi protes yang dilontarkannya, kata Hasyim, Kiai Idham dengan tenang menjawab dan memberikan pengertian bahwa dalam bertindak tidak boleh "grusa-grusu" atau terburu-buru. ''Kita baru saja selesaikan komunis, sisanya masih panjang. Jangan minta demokrasi dalam saat yang sama, nanti demokrasi ada waktunya sendiri,'' kata Hasyim menirukan jawaban Kiai Idham.
Mengutip pendapat Imam Ibnu Atho`ilah, lanjut Hasyim, Kiai Idham menuturkan bahwa Allah menyelamatkan satu per satu, tidak sekaligus. ''Biarkan Pak Harto (Soeharto) berkuasa. Setiap zaman ada orangnya dan setiap orang ada zamannya,'' kata Kiai Idham seperti ditirukan Hasyim.