REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak sepuluh warga negara Palestina ingin menempuh pendidikan dokter spesialis di Indonesia. Namun karena birokrasi yang sulit, tiga orang terpaksa mengundurkan diri.
Kepala Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI), Basuki Supartono mengatakan, dari sepuluh orang itu sudah datang ke Tanah Air sebanyak lima orang. "Kini yang ada di tanah air dua orang, tiga lainnya kembali karena tak tahan dengan ruwetnya birokrasi di Indonesia," ujarnya kepada Republika, Jumat (24/9). Sedangkan lima lainnya masih terganjal visa dan saat ini berada di Palestina.
Salah satu contoh birokrasi cukup ribet yang harus dilalui adalah uji kompetensi dokter Indonesia (UKDI). UKDI tersebut dilaksanakan empat kali dalam setahun. Tujuannya adalah untuk mengukur kompetensi dokter. Setelah lulus UKDI, para dokter memperoleh surat tanda registrasi (STR) dari Kolegium Kedokteran Indonesia (KKI). Peraturan pemerintah mewajibkan, setiap dokter yang berhadapan dengan pasien harus memiliki STR.
Basuki menjelaskan, ke sepuluh warga negara Palestina tersebut telah mengenyam pendidikan dokter. "Dan mereka sudah terbiasa praktek dengan pasien," katanya. Sehingga kompetensinya tak diragukan. Oleh karena itu dia berharap birokrasi pengajuan pendidikan sepuluh dokter tersebut dapat dipermudah.
Moein Shurafa, salah seorang warga Palestina, mengakui adanya hambatan dalam birokrasi di Indonesia. Padahal, lanjutnya, pemerintah Indonesia telah menyampaikan dukungannya secara politis kepada Palestina. "Saya coba ikuti dan tunggu saja," ujarnya.
Moein mengatakan, dirinya ingin memperoleh pendidikan sebagai dokter anastesi di Indonesia. Dijelaskannya, pendidikan dokter di Palestina sangat sulit.