REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra belum menyebut saksi maupun ahli yang akan dihadirkan untuk uji materi UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Berdasarkan pengalaman uji materi UU Kejaksaan saya belum akan sebut saksi atau ahli yang akan hadir di sini (MK)," kata Yusril, usai sidang di MK, Senin (1/11).
Yusril Ihza Mahendra mengajukan uji materi ketentuan Pasal 1 angka 26 dan 27 dihubungkan dengan Pasaal 65l 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) jo Pasal 194 ayat (1) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Yusril mengajukan uji materi terhadap ketentuan pasal 1 angka 26 dan 27 dihubungkan dengan Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) jo Pasal 184 ayat (1) huruf a UU Nomor 8/1981 tentang KUHAP karena permintaan untuk menghadirkan empat saksi yakni Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Kwik Kain Gie, dan Susilo Bambang Yudhoyono ditolak oleh Kejaksaan Agung.
Penolakan Kejaksaan Agung itu, menurut Yusril didasarkan atas definisi tentang keterangan saksi yang diatur dalam Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP. Pasal tersebut menyebutkan bahwa saksi adalah orang yang melihat, mendengar, dan mengalami langsung sebuah peristiwa pidana.
Akibatnya Yusril merasa dirugikan secara konstitusional, yakni hak mendapatkan kepastian hukum dan keadilan, persamaan di hadapan hukum, dan berbagai pasal UUD 45 yang mengatur tentang HAM. Jika permohonannya dikabulkan MK, maka Kejaksaan Agung tidak punya pilihan lagi kecuali memanggil saksi Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Kwik
Kian Gie, dan Susilo Bambang Yudhoyono untuk menerangkan masalah akses fee Sisminbakum yang tidak dimasukkan ke kas negara sebagai PNBP. Masalah akses fee Sisminbakum ini disidik kejaksaan karena adanya dugaan korupsi. Padahal sudah jelas bahwa Sisminbakum adalah proyek built, operate and transfer (BOT) yang seluruh modalnya maupun biaya operasinya ditanggung swasta. Tidak ada proyek BOT yang dikenakan PNBP, tetapi dikenakan pajak.
"Ini kasus BOT pertama yang dinyatakan sebagai korupsi. Ini seperti pembuatan jalan tol orang membayar tol bukan ke negara tetapi ke Jasa Marga," katanya.
Yusril juga banyak contoh kasus negara melibatkan swasta (BOT) untuk mengerjakan infrastruktur karena negara tidak punya modal. Dia juga mengungkapkan bahwa Sisminbakum menjadi PNBL atau bukan adalah kewenangan presiden dengan cara mengeluarkan Peraturan Pemerintah.
"Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani empat PP tentang PNBP di Departemen Hukum dan HAM, yakni PP Nomor 75 tahun 2005, PP nomor 19 tahun 2007 dan PP nomor 82 tahun 2007 yang semuanya tidak memasukkan biaya 'fee' Sisminbakum ke BNPB dan baru PP nomor 38 tahun 2009 yang memasukkan sebagai PNBP," kata Yusril.