REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Wakil Bendahara Umum DPP Partai Golkar Bambang Soesatyo menyatakan, pihaknya kini semakin banyak mendapat masukan tentang lemah dan tidak tegasnya Pemerintah bersama aparat hukumnya terhadap pelaku korupsi.
"Lebih ironis lagi, isu pemberantasan korupsi hanya menjadi kosmetik politik atau 'lip service' semata tanpa makna," ujarnya di Jakarta, Rabu (17/11).
Bambang Soesatyo yang juga anggota Komisi III DPR RI (bidang hukum, perundangan, kepolisian negara dan KPK) menambahkan, pada hakekatnya sudah punya instrumen untuk memberi sanksi kepada koruptor. "Kita bahkan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengintai, menangkap dan menyeret koruptor ke pengadilan. Tetapi, semua ini, ternyata tidak membuat koruptor jera," ungkapnya.
Masalahnya sekarang, menurut Bambang Soesatyo, instrumen hukum pemberantasan korupsi agaknya masih belum mampu berbuat banyak untuk membuat efek jera para koruptor. "Makanya sudah sangat jelas kita membutuhkan sebuah instrumen sanksi atau ketentuan hukum yang benar-benar, siapa pun di Republik ini takut untuk korupsi," tegasnya.
Sebab, lanjutnya, kalau hukuman kurungan penjara tidak menimbulkan efek jera, tentu harus diterapkan bentuk sanksi lain. "Pasalnya, banyak mafia yang mampu membuat para koruptor bisa menikmati 'hak-hak istimewa' saat dalam tahanan, sehingga sepertinya tidak terlihat mereka sedang dalam proses hukuman karena melakukan tindak pidana korupsi," ungkapnya lagi.
Bambang Soesatyo lalu membuktikan, ketidaktegasan dan ketiadaan instrumen hukum yang membuat orang jera, telah mengakibatkan sosok seperti Gayus Halomoan Tambunan terus berulah, termasuk bebas berpelesiran, lalu dimanfaatkan untuk kepentingan merusak citra orang atau kelompok tertentu.
"Sanksi yang lain yang cukup efektif, adalah hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Namun, sangat disayangkan, bahwa kita belum bersepakat soal ini. Kita malah terperangkap dalam debat berkepanjangan tentang urgensi hukuman bagi koruptor," katanya.
Pertanyaannya sekarang, menurutnya, "kita sepakat atau tidak dengan realitas, Indonesia saat ini dalam kondisi darurat korupsi?." "Kalau tidak sepakat, silahkan menangani karus korupsi seperti pola sekarang yang penuh tipu muslihat," ujarnya.
Tapi sebaliknya, demikian Bambang Sosatyo, "kalau kita sepakat (ada kondisi darurat korupsi), harus ada keberanian bersama menerapkan sanksi hukum paling maksimal, termasuk hukuman mati."
China mempraktikkan hukuman mati bagi koruptor. Apakah mereka berhasil menghentikan korupsi? Memang tidak. Tetapi setidaknya bisa membuat orang jera, sehingga korupsi di China tidak marak seperti di Indonesia," kata Bambang Soesatyo.