REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Umum Komite Kedaulatan Rakyat, R Hamdani, menggugat undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi ke Mahkamah Konstitusi. Dalam sidang panel pemeriksaan pendahuluan di gedung MK, Hamdani memaparkan pasal 2, 3, 4 dan pasal 45 UU Tipikor bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) dan pasal 28I UUD.
Menurut Hamdani, di dalam pasal 2 UU Tipikor tidak dipaparkan dengan jelas mengenai batas minimal dan maksimal jumlah korupsi. Selain itu, tambahnya, dalam pasal 3 juga tidak djelaskan secara spesifik mengenai bentuk penyimpangan kewenangan yang merugikan. “Kita menilai pasal ini memberi peluang bagi orang untuk melakukan korupsi dan dengan demikian bukan untuk pemberantasan tapi pemberdayaan korupsi,” ujar Hamdani, Senin (17/1).
Ia menambahkan pasal 4 UU Tipikor tentang keharusan pengembalian keuangan negara juga menurutnya kurang membuat jera para koruptor. Pada pasal 45, tambahnya, dengan ketentuan UU mulai berlaku pada tanggal diundangkan menyebabkan dugaan korupsi di masa sebelumnya tidak dapat tercover. “Tafsir tentang UU Tipikor bertentangan dengan pasal 27 dan pasal 28I UUD,” kata Hamdani.
Sementara, hakim konstitusi, Maria Farida Indrati, mengatakan pernyataan pemohon yang menyatakan orang yang melakukan korupsi sebelum UU Tipikor berlaku bukan berarti tidak memperoleh hukuman, karena terdapat hukum lainnya yang mengatur. Hakim Konstitusi, M Akil Mochtar menuturkan jika pasal 2 UU Tipikor dicabut malah akan membuat orang bebas melakukan korupsi. Majelis hakim MK pun memberikan waktu dua minggu kepada pemohon untuk melakukan perbaikan permohonan.