REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemerintah tidak bisa serta merta merevisi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No 8 dan No 9 2006. Sebab, PBM merupakan hasil kesepakatan majelis-majelis agama di Indonesia. Sehingga, upaya merevisinya pun harus melalui konsensus semua unsur terkait.
Menurut Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama (Kemenag), Abdul Fatah, dalam konteks ini posisi pemerintah hanya sebagai fasilitator. Sehingga tidak boleh begitu saja melakukan revisi. "Sepakati dulu wacana revisi, tanpa kesapakatan pemerintah, sulit campur tangan,” imbuh dia saat dihubungi Republika di Jakarta, Minggu (19/9).
Abdul mengatakan, konsensus yang sekarang ada sebetulnya adalah jalan tengah dari hasil kesepakatan majelis-majelis agama. Karena sebelumnya tak ada aturan yang mengikat secara nasional. Apalagi, setiap daerah memiliki peraturan yang beragam.
Di Tangerang misalnya, ia mencontohkan, izin pendirian rumah ibadah harus mendapatkan persetujuan dari 400 jiwa, sementara di Bali 100 kepala keluarga. Akibatnya, ia melanjutkan, gejolak di tingkat bawah pun kerap terjadi. Proses menyepakati angka minimal 90/60 untuk mendapatkan izin pendirian rumah ibadah, dinilai Abdul memakan waktu yang lama.
Setidaknya, lanjut dia, terjadi tiga kali putaran pertemuaan selama tiga minggu hingga muncul angka tersebut. Jika angka minimal dibawah 90/60 atau bahkan ditiadakan sama sekali, Abdul menambahkan, maka akan rawan konflik di tengah-tengah masyarakat.
Abdul menegaskan, pemberlakuan PBM hakikatnya adalah mengikat semua pihak tak terkecuali umat Islam. Kesulitan mendirikan rumah ibadah juga dialami umat Muslim di Papua, Sulawesi Utara, Manado, dan Bali. Hanya saja, tutur dia, persoalannya adalah ketaatan terhadap aturan.
Padahal, ia menegaskan, PBM memberikan kemudahan jika di tingkat desa tidak mencapai 90 maka diteruskan di tingkat kecamatan dan selanjutnya kabupaten. Pengaturan bagaimanapun, Abdul menegaskan, tetap diperlukan. Indonesia sebagai negara hukum harus mempunyai aturan. Tujuannya tak lain untuk menjaga kerukunan antaruma beragama dan menghindari konflik horisontal di tengah masyarakat. "Pendirian supermarket saja butuh aturan apalagi ini rumah ibadah," tandas dia.