Jumat 19 Nov 2010 19:53 WIB

Saksi Mata Letusan Merapi itu Memilih Tetap di Pengungsian

Gunung Merapi
Foto: Antara
Gunung Merapi

REPUBLIKA.CO.ID, MAGELANG--Sejumlah saksi mata letusan besar Gunung Merapi di perbatasan wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, hingga saat ini masih di pengungsian, dan belum berani pulang ke rumah karena takut. "Letusan besar pada Jumat (5/11) dini hari itu membuat saya takut dengan Gunung Merapi," kata seorang warga Dusun Kajangkoso, Desa Mangungsoko, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Yudi Wiyono (56), di Magelang, Jumat.

Yudi bersama ratusan orang warga Merapi lainnya hingga saat ini masih mengungsi di Balai Kelurahan Sawitan, Ibu Kota Kabupaten Magelang, sekitar 50 kilometer barat puncak Merapi. Dusun Kajangkoso berjarak sekitar delapan kilometer barat puncak Merapi.

Hingga saat ini, kata dia, dirinya sekali menengok rumah untuk memberi makan ternak dan kemudian kembali ke penampungan.

Ia mengaku sedang sakit ketika terjadi letusan besar itu sehingga bersama sejumlah warga setempat lainnya bertahan di rumahnya di kawasan aliran Kali Senowo yang airnya berhulu di Merapi.

Letusan besar Jumat (5/11) dini hari itu, katanya, didahului dengan getaran hebat dan cukup lama sejak Kamis (4/11) malam.

"Saya kemudian berdiri di teras rumah, melihat ke arah puncak gunung," katanya.

Ia mengatakan, dari puncak Merapi tiba-tiba keluar semburan besar material warna merah cukup dahsyat ke arah utara yang lalu turun menyusuri lereng gunung.

Hujan pasir dan kerikil, katanya, turun cukup deras hingga dusun setempat dan bahkan beberapa kerikil yang masih panas mengenai bagian kakinya hingga luka. Ia mengatakan, ketika itu berada di rumah bersama sejumlah warga antara lain istrinya Ngatinem (51), Prawito, Jiran, Maesudi, Marjo, Surati, Siar, dan tiga anak.

"Andaikan hanya saya sendiri, saya mantap tetap bertahan malam itu, tetapi karena ada beberapa yang lain dan terutama tiga anaknya Siar, saya menjadi khawatir atas keselamatan mereka, sehingga kami memutuskan mengungsi," katanya.

Ia menyebut dahsyat atas letusan Merapi pada Jumat (5/11) dini hari itu. "Kalau hanya hujan abu, saya kira tidak apa-apa asalkan tetap di rumah, tetapi letusan malam itu sungguh dahsyat, hingga saat ini saya masih merasa takut," katanya.

Seorang warga Dusun Grogol, Desa Mangunsoko, Kecamatan Dukun, Sutar, mengaku melihat letusan besar itu saat berada di pengungsian Desa Tlatar, Kecamatan Sawangan, sekitar 20 kilometer barat puncak Merapi. "Setelah letusan besar itu kami kemudian mengungsi lagi hingga Sawitan ini, sedangkan istri dan anak-anak, saya ungsikan ke rumah keluarga di Semarang," katanya.

Meskipun hingga saat ini dirinya masih takut karena melihat letusan itu, katanya, beberapa kali telah pulang ke dusun untuk menengok rumah dan mengurus ternaknya.

Seorang warga Dusun Babadan I, Desa Paten, Kecamatan Dukun, sekitar lima kilometer barat puncak Merapi, Kemis (40), mengatakan, letusan terbesar Merapi 2010 terjadi pada Jumat (5/11). "Saya di rumah ketika itu bersama beberapa orang, melihat langsung Merapi yang meletus besar disertai gempa dan gemuruh terus menerus," katanya.

Puncak Merapi, katanya, ketika itu menyeburkan material warna merah yang jatuh ke berbagai penjuru. "Itu letusan paling  nggegirisi  (menakutkan, red). Orang-orang tua secara turun temurun mengajarkan kepada kami, jika Merapi sedang 'bekerja' (meletus, red), kami harus diam dan tenang, tidak boleh teriak-teriak, serta waspada," katanya.

Hingga saat ini, katanya, dirinya masih bertahan di rumahnya yang terletak di dekat Pos Pengamatan Gunung Merapi di Babadan, sekitar 4,4 kilometer barat puncak Merapi.

sumber : Ant
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement