REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa sebaiknya Sri Sultan Hamengku Buwono X dan keluarganya netral, tidak terlibat dalam partai politik.
"Sultan merupakan milik warga Yogyakarta, jadi sebaiknya Sultan netral. Sri Sultan Hamengku Buwono IX pun tidak pernah melakukan kampanye untuk Partai Golkar," kata Tjahjo disela-sela acara diskusi publik 'Krisis Semenanjung Korea: Konstelasi Keamanan Kawasan dan Peran Indonesia", Jumat (10/12).
Dalam diskusi di Kantor DPP PDI Perjuangan di Lenteng Agung, Jakarta Selatan itu, ia mengatakan bahwa Sultan merupakan pengayom masyarakat Yogyakarta, dimana keraton memiliki tanah di wilayah Jawa Tengah. Menanggapi permasalahan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, kata Ketua Fraksi PDI Perjuangan itu, masyarakat Yogyakarta tetap menginginkan sistem pemerintahan yang lama, dimana Sri Sultan dan Pakualam menjabat Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta.
"Kami sudah bertemu langsung dengan Sri Sultan selama tiga jam beberapa hari lalu dan berdialog secara terbuka. Kami ingin mengetahui langsung soal permasalahan tersebut dan ternyata masyarakat tetap menginginkan sistem yang lama," ucap Tjahjo.
Ia mengatakan, fraksinya akan menunggu draft resmi RUUK Yogyakarta dari pemerintah sambil menginventarisir permasalahan-permasalahan yang ada.
"Kami akan menerjunkan tim kecil fraksi PDI Perjuangan ke DIY untuk menyerap semua aspirasi dari masyarakat dengan melihat aspek historis, politis dan budaya yang ada di Yogyakarta. Jangan ada faktor X karena akan menjadikan sebuah proses untuk melegitimasi Sultan adalah Gubernur. Ini perlu dipertegas," ujarnya.
Jangan sampai, tambah Tjahjo, ada gubernur utama atau gubernur madya atau bahkan gubernur bayangan dalam pemerintahan Yogyakarta. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Muladi mengatakan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi diminta mengajak Sri Sultan Hamengkubuwono X berdialog untuk mendengarkan aspirasi Sultan dan rakyat Yogyakarta soal RUU Keistimewaan Yogyakarta.
"Aspirasi rakyat Yogyakarta harus didengarkan dan bagaimana mencari titik temu antara konstitusi dengan historikal Yogyakarta," kata Muladi, di Kantor Lemhanas, Jakarta, Kamis (9/12).
Menurut Muladi, Lemhannas memang belum memberi solusi terkait masalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tetapi yang paling utama dalam menyelesaikan masalah RUU Keistimewaan DIY adalah dialog yang mendalam antara Mendagri, DPR, DPD dan Sri Sultan.
"Jadi jangan berbicara sendiri-sendiri. Jangan sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi korban. Jadi perlu sinergi antara DPR dan DPD dan Kesultanan," ujarnya.
Terkait pemilihan Gubernur DIY dilakukan DPRD atau dengan pemilihan langsung, Muladi berpendapat, harus disesuaikan dengan keinginan masyarakat. "Karena finansial dan politik besar. Kalau otonomi daerah itu dearah tingkat II, itu logis. Yang pasti aspirasi masyarakat Yogya perlu didengar karena menyangkut sejarah dan ini sensitif," ucapnya.