REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menilai kasus pemberian surat peringatan yang menimpa bidan Nurul Hanifah yang bekerja di Rumah Sakit (RS) Delta Sidoarjo akibat memakai jilbab merupakan bentuk pelanggaran kebebasan keyakinan. Direktur LB Surabaya M Syaiful Aris mengatakan tindakan manajemen rumah sakit yang memberikan surat peringatan dua kali kepada bidannya agar berhenti menggunakan jilbab saat bekerja bisa dikategorikan sebuah teror yang mengancam kebebasan beragama.
"Tindakan mengeluarkan surat peringatan itu sama dengan ancaman terhadap freedom of religion," kata Syaiful di kantor LBH Surabaya, Jalan Kidal, Selasa (25/1).
Arif menyebut kebijakan rumah sakit melarang pegawainya memakai jilbab merupakan perwujudan pemasungan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Padahal kebebasan berekspresi untuk melaksanakan keyakinan beragama adalah bagian dari hak fundamental yang tak dapat dikurangi dalam kondisi apapun.
Apalagi, hak itu dilindungi secara tegas dalam konstitusi negara melalui UU Nomor 39 Tahun 1999 dan ratifikasi Kovenan Hak Sipil Politik. "Tindakan pihak rumah sakit melarang salah satu bidannya memakai jilbab bisa dianggap pelanggaran HAM serius. Kasus ini harus ditelusuri Komnas HAM," ujar Syaiful.
Menurut Syaiful, kejadian buruk yang menimpa Nurul Hanifah jelas merupakan bentuk kesewenang-wenangan pimpinan rumah sakit. Pasalnya, sejak interviu awal seleksi kerja tak ada aturan yang melarang pegawai rumah sakit mengenakan jilbab. Aturan perusahaan hanya menjelaskan setiap pegawai wajib memakai seragam standar.
Ditambah dalam dua kali surat peringatan yang diterima korban tak disertai dengan penjelasan mengapa diberi peringatan padahal tak melakukan pelanggaran. Maka Syaiful menilai Nurul Hanifah tak melanggar ketentuan memenuhi seragam standar dalam bekerja. "Pihak rumah sakit harus mencabut kembali surat peringatan tersebut. Memakai jilbab tak melanggar aturan perusahaan," tuturnya.
Namun kemudian, kasus tersebut disederhanakan menjadi persoalan industrial antara pengusaha dan pekerja setelah korban bertemu Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Sidoarjo. Syaiful menilai Disnaker bertindak gegabah sebab permasalah tersebut sebenarnya bukan perselisihan ketenagakerjaan antara majikan dengan pegawai. Tapi, bentuk pelanggaran normatif.
"Kasus ini harus diselesaikan dengan mencabut aturan pelarangan memakai jilbab. Jika dibiarkan, nanti pasti muncul kasus lain di kemudian hari," tegasnya.
Langkah yang ditempuh Syaiful selanjutnya adalah menuntut Pemkab, Disnaker, dan DPRD Sidoarjo untuk melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan penindakan terhadap manajemen RS Delta Surya. Karena ia tahu bahwa banyak karyawan lain yang mengalami hal serupa, tapi tak berani melawan seperti yang dilakukan Nurul Hanifah.
"Pemerintah harus menegur pihak rumah sakit dan menjamin kasus serupa tidak menimpa karyawan lain," tegas Syaiful.