REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Pemerintah Kabupaten Sleman sedang mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah pasca erupsi besar Gunung Merapi yang antara lain mengatur batas wilayah diperbolehkan untuk dihuni minimal 10 kilometer dari puncak gunung.
"Kami sudah memasukkan raperda itu ke DPRD Kabupaten Sleman, tinggal menunggu diskusi antara eksekutif dan legislatif serta uji publik ke masyarakat," kata Wakil Bupati Sleman Yuni Satia Rahayu saat Seminar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Kamis.
Menurut dia RTRW yang disusun oleh Pemerintah Kabupaten Sleman tersebut akan digunakan sebagai acuan penataan ruang dan wilayah pada 2011-2030.
Ia mengatakan pembuatan Raperda RTRW tersebut menyesuaikan rekomendasi dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) khususnya dari peta kawasan rawan bencana (KRB) yang telah dirilis oleh balai tersebut.
"Wilayah yang masuk dalam radius 10 km dari puncak gunung hanya akan berisi tanaman-tanaman baru kemudian di bawahnya digunakan sebagai tempat tinggal tetap," katanya.
Salah satu upaya agar masyarakat tidak kembali lagi menghuni wilayah yang masuk dalam radius 10 km adalah dengan membeli tanah-tanah warga.
Ia berharap Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dapat melakukan pembelian tanah-tanah warga tersebut karena apabila hanya dibeli oleh pemerintah, maka akan membutuhkan biaya yang sangat mahal. "Tujuannya adalah agar tidak lagi ada korban apabila Gunung Merapi kembali meletus karena bisa dipastikan gunung akan meletus. Merapi tergolong gunung yang masih aktif," katanya.
Jumlah warga Kabupaten Sleman yang meninggal dunia akibat letusan Gunung Merapi pada letusan 2010 mencapai 285 orang dan sebanyak 2.613 keluarga kehilangan tempat tinggal.
"Saat ini, kami belum akan mengeluarkan kebijakan untuk relokasi, karena keluarga yang kehilangan tempat tinggal juga masih belum menempati hunian sementara karena belum jadi," katanya.
Jumlah hunian sementara yang baru bisa diselesaikan adalah 200 unit sehingga masih membutuhkan waktu cukup lama untuk penyelesaiannya. "Masalah relokasi adalah hal yang sensitif sehingga kami khawatir akan mempengaruhi psikologis pengungsi. Kami memilih untuk menunda dulu kebijakan ini," katanya.