Jumat 01 Apr 2016 12:43 WIB

Marshanda Berbagi Kisahnya Menyangkal Idap Bipolar

Rep: Dessy Susilawati/ Red: Indira Rezkisari
Artis Marshanda
Foto: Republika/Desy Susilawati
Artis Marshanda

REPUBLIKA.CO.ID, Marshanda saat ini sedang 'naik daun' dengan berita ayahnya yang ditemukan dalam kondisi menggelandang. Meski sedang disorot jelang hari bipolar sedunia Marshanda bersedia berbagi tentang kondisi penyakit bipolar yang disandangnya.

Marshanda mengungkapkan perjalannya menjadi seorang bipolar cukup seru. Dia baru didiagnosa sekitar tahun 2009. Kala itu, ia tak mau menerimanya. Bahkan hal ini terjadi sampai tahun 2013. Ia pun sempat menyalahkan orang lain atas gangguan yang diidapnya tersebut.

”Dari 2009 mama sering banget email ke saya, forward tentang gangguan bipolar, segala sesuatu tentang itu yang bisa membantu Saya. Tapi saya nggak pernah baca dan mau tahu dan langsung hapus tidak pernah mau tahu,” ungkap perempuan yang akrab disapa Caca dalam seminar tentang bipolar di Jakarta belum lama ini.

Empat tahun Caca menutup diri atas penyakitnya itu. Ia merasa baik-baik saja. Bahkan ia mengganggap semua masalah yang ia alami adalah kesalahan orang lain. Sampai akhirnya tahun 2013 ia mulai ikut lokakarya pengembangan diri. Terapi. Bahkan ikut pelatihan dasar konseling dan terjun di dunia itu. Di tahun yang sama akhirnya ia mulai berani mempelajari diri dan mencari tahu bipolar itu apa.

“Lama-kelamaan saya bertemu dengan lingkungan yang bagi mereka itu bipolar bukan sakit. Mereka merasa saya tidak mengerikan saat lagi kurang tidur. Mereka membuat saya merasa normal kalau lagi menangis. Mereka membuat saya merasa down itu boleh,” paparnya.

Menurut Caca,  rata-rata penyandang bipolar cenderunga menggunakan otak kanan. Mereka akif, suka musik, karena penderita bipolar itu karakteristiknya disebut Caca seperti seniman. Makanya banyak aktor yang bipolar. “Jadi orang-orang ini merasa kalau saya boleh ngamuk, karena memang yang saya alami stressfull,” tambahnya.

Bahkan ada teman Caca yang berbagi padanya kalau saat sedang mengamuk, temannya itu sengaja menyewa satu kamar hotel. Ia bisa banting segala macam, keluarga tidak perlu lihat dirinya marah, supaya tidak ada yang takut sama dirinya. Itu normal. “Nah mulai dari situ, pelan-pelan, saya menggangap diri saya tidak dianggap beda,” tambahnya.

Selama ini, Caca mengaku lingkungan keluarganya tidak membuatnya cenderung sulit. Hanya keluarganya lebih umum sebagai orang berotak dominan kiri, sehingga mereka tidak mudah atau kebingungan melihat orang lain stres.

“Kadang-kadang kalau saya lagi terlalu bisa blak-blakkan terbuka, mereka mungkin nggak nyaman, karena mereka nggak tahu caranya untuk itu. Mereka tidak terbiasa. Jadi saya kadang merasa saya kok begini banget ya di keluarga saya, walau mereka tidak bermaksud begitu,” ujarnya.

Karena itu, Caca lebih banyak bergaul dan mulai mencari support system. “Karena kita mendukung itu tidak semua tempat harus ditempati, kita harus mencari feedback dan orang-orang yang mendukung kita, yang mengerti dunia psikologi, yang mengerti hal-hal semacam ini, yang biasanya ada di konselor, coach, ahli hipnoterapi. Saya lebih banyak bergaul ke situ, saya banyak belajar. Dari 2013 akhirnya Saya mempelajari bipolar itu apa,” ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement