REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengamat Militer dari Universitas Padjajaran, Muradi mengatakan di ulang tahun ke-70 Tentara Nasional Indonesia (TNI), TNI sudah bekerja seusai dengan tupoksinya. Meskipun, lanjutnya, masih banyak yang belum seirama dengan pemerintah.
Muradi menyampaikan ada empat hal yang menjadi sorotannya dalam perkembangan militer di Indonesia. Pertama, terkait dengan akan dijadikannya Indonesia sebagai poros maritim dunia yang digadang-gadang oleh Presiden Joko Widodo. Menurutnya, saat ini mewujudkan poros maritim dunia masih dalam tahapan membangun, sehingga masih belum bisa dilihat secara nyata hasilnya.
Idealnya. lanjutnya, jika Indonesia menjadi poros maritim dunia, Indonesia harus memiliki pelabuhan Internasional terbesar, karena Indonesia menjadi pangkalan kapal-kapal pesiar dan Indonesia menjadi pusat pertumbuhan industri maritim dan Indonesia harus memiliki pertahanan maritim yang kuat.
Kedua, adalah terkait komitmen pemerintah terhadap anggaran pertahanan berupa alat utama sistem pertahanan (alutsista) dan kesejahteraan para tentara yang sebesar Rp 250 triliun. Pemerintah, kata Muradi, harus memenuhi anggaran tersebut agar kinerja TNI semakin baik.
Ketiga, kebijakan politik dan pertahann yang belum seirama. "Sebagai contoh geopolitik laut Cina Selatan hal tersebut merupakan suatu masalah pertahanan, namun kalau dalam hubungan bilateral justru bukan merupakan masalah yang besar," ucap Muradi kepada Republika.co.id, Senin (5/10).
Sehingga, sambung dia, TNI harus lebih sadar dalam pengamanan pertahanan Indonesia terutama ancaman dari luar di daerah perbatasan Indonesia. Indonesia juga harus membentuk Dewan Keamanan nasional yang akan menciptakan seiramanya antara politik dan pertahanan Indonesia.
Keempat, lanjut Muradi, sudah bukan jamannya lagi TNI menggunakan isu komunisme sebagai suatu ancaman. "Itu sudah bukan domain TNI, saat ini kita pun tidak tahu bentuk komunis itu seperti apa, Cina yang merupakan negara komunis pun sangat kapitalis sekarang," jelasnya.
Saat ini, sambung Muradi, ancaman sudah tidak lagi sebatas ancaman perang tradisional. Kini, ada juga ancaman siber, perang asimetrik dan lain-lain. Saat ini juga, dengan ancaman tersebut, maka isu bukan lagi terkait dengan perebutan teritorial langsung tapi lebih kepada otoritas penguasaan kedaulatan melalui teknologi dan psywar.
"Hal ini berdampak lebih luas bila masuk ke relung-relung ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya bangsa. Dan bila kita tak waspada maka bukan tak mungkin kita dapat dilumpuhkan dengan cara itu. Dan justru itu juga prajurit TNI juga harus pintar serta memiliki profesionalitas teruji," ujarnya.