REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Karena bekerja dan memiliki penghasilan, mereka pun biasanya memiliki rekening sendiri. Syekh al-Qaradhawi tak mempermasalahkan hal ini, bahkan ia mendukung. "Saya sendiri mendukung istri mempunyai rekening sendiri agar suami tidak tamak dengan harta istrinya," ujar ulama yang sekarang menetap di Doha, Qatar ini. Dalam hal ini suami tidak boleh marah, kecuali jika istri punya niat yang tidak baik.
Ia pun menyarankan, tabungan suami dan istri jangan sampai dicampur dalam satu rekening. "Biarkanlah masing-masing menggunakan namanya sendiri. Karena, setiap manusia berhak atas hartanya." Terkait hal ini, Syekh al-Qaradhawi punya cerita. Pernah ada kejadian, suami mempunyai istri yang bekerja dan menghasilkan harta yang tidak sedikit, kemudian ditabungkan pada rekening milik suami. Namun setelah berjalannya waktu, sikap suami berubah pada istrinya. Ia pun menikah lagi dengan wanita lain dengan mempergunakan harta istri pertama.
Islam, lanjut Syekh al-Qaradhawi, telah memerdekakan wanita dari kungkungan-kungkungan (kezaliman) pada zaman jahiliah dengan berbagai bentuknya, terutama dalam hal kepemilikan harta yang tidak bergerak seperti tanah, kebun dan lain-lain, dan harta yang bergerak seperti mobil, emas, berlian, dan lain-lain.
Dalam hal ini, Islam menjadikan kepemilikan wanita tersendiri, terlepas dari kepemilikan orang tua dan suaminya. Artinya, sudah menjadi haknya untuk mempergunakan sekehendaknya, seperti untuk membeli, menjual, memberi, atau menginfakkannya. "Semua itu terserah dia, sebagaimana laki-laki bebas mempergunakan hartanya. Tidak ada yang berhak melarang dan memaksanya," ujar Syekh al-Qaradhawi.
"… Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi wanita pun ada bagian yang mereka usahakan …" (QS an-Nisa: 32). Karena itu, menjadi hak wanita untuk membuka rekening tabungan di bank atas namanya sendiri, baik untuk menabung harta dari hasil usahanya sendiri, dari harta warisan, maupun hadiah dari ayahnya, hadiah dari ibunya, atau dari yang lainnya.