Ini adalah pengalaman asli yang saya alami ketika liburan semester empat lalu. Ini semua diawali dari perampokan di kosan. Selain itu, kehilangan kartu identitas seperti KTP dan KTM adalah petaka karena harus menghadapi birokrasi yang rumit dan korup.
Setelah kehilangan berbagai kartu penting, akhirnya mau gak mau saya harus mengurus ulang KTP. Kebetulan saat itu benar-benar lagi kanker alias bokek. Saat itu cuma punya uang 50 ribu. Merasa sangat perlu akan KTP tersebut, akhirnya langkah pertama adalah mengurus surat keterangan hilang dari kepolisian.
Awalnya, sebelum berangkat sudah diniatkan untuk ngga akan memberi uang ‘rokok’ bagi polisi. Selain karena bokek, memang saya ngga mau lihat kewibawaan Tribarata jatuh seharga uang rokok. Tapi, pas saya abis jelasin dan surat sudah diserahkan, saat berniat beranjak sembari pergi, si Polisi itu bilang, “Mas, uang administrasinya,” dengan wajah masam. Huh, gondok saya. Sudah kena musibah, harus bayar pula. Saya males untuk adu mulut sama dia. Saya kasih aja uang 20 ribu.
Setelah surat kehilangan jadi, saya minta surat pengantar dari RT. Kebetulan, karena RT itu masih paman, saya nggak perlu ngasih uang rokok dan dia pun ngga nagih. Begitu pula pas ke rumah RW, dimana bapak masih merupakan kenalan.
Eh, ngga tahunya, pas di kelurahan, saya diminta uang 15 ribu, cuma buat selembar kertas yang itu merupakan hak saya sebagai warga negara untuk dilayani. Dengan berat hati saya beri uang 15 ribu. Sambil saya sumpahin yang makan duit itu mules ngga sembuh-sembuh.
Dengan lunglai, saya pergi ke kecamatan. Bisa dibayangin, kalau di kelurahan aja udah dipinta 15 ribu, berapa yang harus saya bayar buat kecamatan. Dan yang paling jengkel, duit saya tinggal 15 ribu lagi. Dengan tabah saya harus menjalani kehidupan sebagai warga negara di negeri para PNS dan pegawainya yang korup.
Saya pun mulai beranjak ke kecamatan, saya ngantri sambil nunggu giliran. Pas nama saya dipanggil, saya duduk sebentar untuk dikonfirmasi dan foto. Ketika mau di foto, eh, petugas tadi bilang, “Seikhlasnya, dek.” “Woi, seikhlasnya muke lu bopak!” ujar saya dalam hati. Dengan menahan gemuruh di dada, akhirnya saya kasih uang 10 ribu buat dia. Dengan wajah penuh kesedihan, saya pun difoto. Mereka bilang, seminggu lagi KTP-nya jadi.
Sembari meninggalkan kantor kecamatan, dalam hati dan sejujurnya saya ingin teriakan “JIHAD MELAWAN BIROKRAT KORUP!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” Tapi takut juga kalau saya teriak-teriak deket puskesmas, bisa ditimpukin sandal. Dan akhirnya saya urungkan untuk teriak.
Dengan uang sisa 5 ribu perak, saya langsung pergi ke warnet. Di sana saya berniat untuk melaporkan mereka ke KPK. Pas di depan komputer, tiba-tiba misi saya ngeblur. Notification Facebook menggoda saya, tak terasa saya ketawa-ketiwi sambil chat. Pas billing udah nunjukin angka 3 ribu, saya bak ditampar CPU. Saya harus kembali ke misi awal untuk melaporkan oknum tersebut.
Saya langsung inget, saya buka aja website kota Tangerang. Kalo Anda orang Tangerang, pasti tahulah website www.kotatangerang.go.id . Di sana saya ngisi kolom pengaduan. Saya curhatin segala derita dan nestapa saya. Berharap yang baca akan ikut sedih dan nangis. Kalau bisa juga kasihan sama saya yang lagi bokek dan mau transfer uang. Tapi, gak mungkin juga kali.
Setelah selesai di website kota Tangerang, saya ngga puas. Saya khawatir suara saya nggak dibaca. Jangan-jangan cuma jadi spam dan raib ngga pernah terbaca. Akhirnya saya googling dan nemuin website Ombudsman. Tahu Komisi Ombudsman? Saya terinspirasi untuk menghapal namanya karena iklannya juga sama kayak kejadian yang saya alami. Iklannya ngasih tahu, JIKA ANDA DIPERSULIT MEMBUAT KTP, LAPOR OMBUDSMAN. Nah, saya isi tuh form pengaduan OMBUDSMAN.
Esok harinya, jam 4 sore, saya lagi ngepel di rumah. Pas sedang asyik bersenandung, tiba-tiba datang seseorang menanyakan rumah bapak saya. Betapa terkesimanya saya setelah tahu kalau saya yang dicari. Awalnya orang yang kurus dan sudah separuh baya. Tapi yang bikin saya ngeper pas orang kedua yang badannya gemuk dan salaman keras sambil ngomong, “Ini Zaeni?” Oh my God! Saya bakal digebukin sampai jadi cuanki nih. ”Zaeni yang laporan ke orang pemkot ya?” tanyanya lagi. Dengan wajah gugup, saya bilang, “Iya, pak.”
Tak beberapa lama, orang ketiga dengan perawakan gemuk datang. Sama seperti orang yang kedua, ia menanyakan nama dan kebenaran laporan yang saya buat. Akhirnya, secara jujur saya ceritakan kenapa saya berbuat demikian. Lama kelamaan ternyata dia yang menunduk malu. Dengan hati yang mulai pede, saya ceramahin dia dengan lancar. “Pak, malu dong. Katanya Kota Tangerang berakhlakul karimah, masa birokratnya masih korup,” kata saya dengan bangga.
Dia beralasan kalau uang itu digunakan para pegawai honorer. Dia juga minta, kalau ada permasalah yang terjadi di Kelurahan tidak perlu harus diceritakan pada atasan orang pemkot, laporkan saja sama dia.
Akhirnya sebelum pergi, dia menanyakan apa yang saya mau untuk mengubah semua. Akhirnya, saya bilang. “Pak, Rasulullah melaknat bagi siapa pun yang memberi dan menerima suap. Kalau memang ada biaya yang harus dibayar, tulis secara jelas berapa yang harus dibayar dan berikan tanda bukti pembayaran. Kalau memang gratis, ya gratis.” Dia pun mengangguk. Sebelum pergi, dia menanyakan berapa uang yang telah terpakai untuk membuat KTP. Saya bilang aja, 25 ribu. Dia pun mengganti uang saya yang 25 ribu. Yeah, Alhamdulillah ya!
Akhirnya saya yakin, jika kita selalu diam, bukan berarti kita tidak bersalah. Justru kita telah ikut menyuburkan praktek korupsi di negeri kita. Mungkin memang kita sanggup memberi uang rokok. Tapi, bagaimana kalau oknum itu meminta uang pada orang miskin? Dengan sedikit keberanian, kita bisa mengubah semuanya. Bukankah kita adalah umat terbaik yang menyuruh pada kebaikan dan mencegah kemungkaran?
ZN
Ciputat