Dalam setiap masalah, atau katakanlah peristiwa yang menyedihkan, umumnya perempuan yang akan terlihat sangat "jatuh" dibanding laki-laki. Perempuan cenderung mudah bereaksi, lemah, emosional, meluapkan kekesalan dan kebenciannya pada orang atau benda-benda tertentu.
Ini sering terjadi. Makanya, tak heran jika budaya yang mengamini patriarki, semakin kuat mengatakan “Perempuan itu lemah. Selalu pakai perasaan, enggak pakai logika.”
Terkadang saya memikirkan dan merenungi hal itu. “Apa betul begitu? Apa sudah dari sono-nya begitu?” Pertanyaan itu selalu berputar-putar di otak dan juga bersemayam di perasaan saya. Sekarang, mari kita telusuri kebenarannya.
Dalam pikiran dan pengalaman saya, sebenarnya tidak selalu begitu. Saya percaya masalah perasaan dan pikiran itu manusia sendiri yang mengatur. Itulah kelebihan manusia dibanding ciptaan Tuhan lainnya. Sementara, Sang Penguasa manusia hanya membimbing dan mengingatkan kita.
Selama hidup berlangsung, selama itu pula setiap manusia akan dihadapkan pada masalah. Setiap hari begitu. Kata orang bijak, justru masalah-masalah itulah yang menjadi proses pembelajaran dan pematangan kita sebagai manusia, yang hakikatnya selalu mencari kebenaran.
Dalam beberapa kasus, ada satu perempuan yang jika menghadapi ujian, seketika itu mood-nya langsung berubah. Yang tadinya ceria dan bersemangat, tiba-tiba cemberut. Bahkan yang lebih parahnya, jika sampai tidak ingin berbuat apa-apa lagi kecuali segera pulang ke rumah dan mengurung diri di kamar.
Ada perempuan yang saat dihina atau dilecehkan di depan publik, nyalinya segera ciut dan akhirnya tidak mau lagi berbicara di depan umum. Ada lagi perempuan lain yang seketika bereaksi saat diputuskan atau disakiti oleh laki-laki (pacar atau suami). Apa saja benda yang ada di depannya "melayang" tiba-tiba, meski benda itu tak bersayap. Ada juga yang memilih menangis tersedu-sedu di depan sang pacar seraya memohon agar tidak diputuskan. Yang lebih ironis, ada perempuan yang nekat minum obat nyamuk karena sakit hati diputuskan pacarnya.
Di saat yang sama, yang terjadi adalah sebaliknya. Seorang perempuan yang ketika "jatuh", ia segera berusaha bangkit meski dengan perjuangan yang tidak mudah. Suciwati misalnya, hingga saat ini masih berdiri tegak memperjuangkan keadilan untuk suami tercinta (Munir). Tentu tidak mudah baginya. Pasti sakit hatinya. Pikirannya tentu bergolak memikirkan apa dan bagaimana langkah-langkah yang harus ia tempuh.
Ada juga perempuan yang saat dihina bahkan diteror di depan publik, ia hanya memasang muka datar, bahkan sesekali terlihat senyum kecil. Ia lebih memilih membalas hinaan itu dengan menuliskannya ke dalam buku. Ini tentu sangat cerdas dan elegan. Perempuan itu bernama Musdah Mulia.
Dalam hal percintaan, ada juga perempuan yang saat diputuskan pacarnya, dengan santainya segera berkata, “Emang gue pikirin, yang suka gue masih ngantri tuh”.
Ada juga yang saat diputuskan sedih sejenak, lalu segera bangkit dan kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa. Ada lagi perempuan yang dalam waktu sebulan, minimal tiga kali memutuskan pacarnya tanpa merasa sedih, apalagi berlarut-larut. Yah, paling hanya ingat-ingat sedikit.
Di atas hanyalah sedikit dari banyaknya kasus-kasus yang seperti itu. Paling tidak, itu realitas yang saya saksikan sejauh ini. Dari cerita di atas, terlihat dua hal yang kontra tentang bagaimana perempuan menghadapi masalah. Ada contoh yang bisa dibilang negatif, tapi ada juga yang positif.
Jika begitu, tidak bisa dibenarkan klaim yang mengatakan, “Semua perempuan itu lemah, emosional, tidak pakai logika, dan semacamnya”. Bahwa kecenderungan umum begitu, bisa jadi iya. Tapi tunggu dulu, kita juga mesti menyelidiki apa sebab dari kecenderungan itu.
Manusia tidak lepas dari produk sejarah. Hemat saya, kecenderungan di atas terjadi karena dipengaruhi oleh produk budaya patriarki. Di mana perempuan cenderung memosisikan dirinya sebagai makhluk yang selalu harus mengalah, berpikir bahwa ia selalu di posisi korban, dan memosisikan diri sebagai makhluk yang paling malu atas segala masalah yang menimpanya.
Sebenarnya itu tidak perlu terjadi. Laki-laki dan perempuan bisa menjadi korban. Memang tidak dipungkiri, perempuan lebih banyak menjadi korban. Tapi maksud saya, mental "korban" di sini yang harus dikurangi, bila perlu dihilangkan. Ini akan membantu perempuan untuk selalu percaya diri, bangkit berjuang, dan tidak berdiam menunggu orang lain memperjuangkan nasibnya.
Di sinilah saatnya menggunakan pikiran dan perasaan dalam menghadapi masalah. Pada dasarnya, pikiran dan perasaan diatur oleh manusia itu sendiri. Sebisa mungkin keduanya seimbang. Tidak condong pada pikiran atau perasaan saja. Setelah memakai keduanya, barulah kita mengharapkan "tangan-tangan tersembunyi" (Tuhan) sebagai penentu akhir.
Seorang perempuan idealnya bisa mengatur dirinya, dengan menggunakan dua instrumen (pikiran dan perasaan). Saat menghadapi masalah, jangan biarkan diri kita terjebak dengan budaya yang ada, yang mengajak kita jatuh pada lubang “mental korban”.
Saya lebih setuju jika masalah itu dikatakan tantangan. Kita bukan korban masalah. Tantangan itulah yang membuat kita selalu belajar mencari solusi. Tantangan itulah yang akan melatih kita memperkuat mental dan percaya diri.
Perempuan idealnya berusaha "mementahkan" mitos-mitos "lemahnya" melalui pembuktian dalam kehidupan sehari-hari. Sosialisasi, advokasi, aksi, dan lainnya adalah usaha mendorong perbaikan dari luar. Sementara perempuan yang menata pikiran dan perasaannya dalam menghadapi masalah adalah usaha dari dalam diri perempuan itu sendiri. Dan ini dampaknya akan lebih besar.
Jadi, para perempuan, mari kita merubah dari dalam, dengan menata pikiran dan perasaan.
Milastri Muzakkar