REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Iqbal Setyarso (Direktur Komunikasi ACT Foundation)
Momentum menyempurnakan kebaikan, terhidang di depan kita tepat menjelang Ramadhan. Iman muslim manapun pasti tergetar ketika ketidaktuntasan menolong Muslim Rohingya terus berlangsung, pada saat kita memasuki Bulan Ramadhan.
Frasa ‘Muslim Rohingya’ sesaat mengusik pegiat kemanusiaan Indonesia. Jangan sebut ‘Muslim’, sebut saja ‘etnis’, lebih universal. Sebuah sikap tidak proporsional memandang masalah. Dunia saja menegaskan, korban keganasan Myanmar itu bukan karena etnisitasnya tapi karena agamanya. Fakta ini membuat PBB menyebut ‘Muslim Rohingya’ komunitas paling teraniaya di dunia.
Lintasagama berduyun-duyun peduli Muslim Rohingya, tapi siapa paling berkepentingan agar Muslim Rohingya tidak punah? Siapa paling tergugat kalau Muslim Rohingya punah, bercerai-berai kehilangan hak hidup di tempat mereka lahir? Ya: umat Islam! Bersama sadar menghentikan krisis ini, membenahi keimanan kita, melapangkan amal Ramadhan kita. Menolong tuntas Rohingya terlebih kini ada di halaman rumah Indonesia, ujian keimanan dan seharusnya makin mantap melaksanakannya menjelang Ramadhan. Soal Rohingya, prolog Ramadhan umat Islam sedunia.
Benar, bahwa episode baru terjadi setiap hari di lokasi-lokasi penampungan di Aceh (Lhoksukon di Aceh Utara, di Kota Langsa maupun di Birem Bayeun Aceh Timur). Terjadi ‘parade kasih sayang’ laksana perlombaan pelayanan oleh banyak orang, berbagai institusi. Pekan pertama, usai layanan pangan dan medis bermunculan kreativitas relawan, di antaranya yang diperlihatkan para anggota Masyarakat Relawan Indonesia. Di Kuala Cangkoy, Aceh Utara misalnya, pengungsi anak dan dewasa mendapakan layanan istimewa secara massal.
Bantuan personal hygiene kit termasuk peralatan mandi komplit, disusul potong rambut lelaki kanak-kanak dan dewasa, memotong kuku anak-anak, pembersihan kutu rambut dan keramas untuk perempuannya, mencairkan ketegangan selama mereka dalam intimidasi, pengusiran, perebutan makanan dan minuman yang langka selama pelarian di kapal, terkatung-katung tanpa kejelasan hendak berlabuh di mana kapal-kapal yang kehabisan bahan bakar itu.
Stres berangsur sirna, keceriaan kaum dewasa dan kanak-kanak menguar. Olahraga sepak takraw atau bola voli buat lelaki dewasa, bersama menggambar dan bermain untuk anak-anak, bahkan shalat berjamaah, membaca al Quran bersama di area pengungsian, memulihkan kemanusiaan yang raib bersamaan dengan terusirnya mereka dari Myanmar.
Fenomena pekan berikutnya mulai terasa perlunya penataan privasi mereka. Ruang-ruang rehat mereka, tak elok bisa dilihat dan dikunjungi begitu banyak orang, meski yang datang semua bermaksud baik. Shelter terpadu, di mana ruang privat, fasilitas MCK dan sanitasi yang layak, aktivitas kemandirian melayani keseharian, hingga sarana ibadah dan pemberdayaan ekonomi dasar, aktivitas bina mental-spiritual, perlu dibangun.
Meski bernama ‘shelter’ tentu harus bisa bermanfaat setidaknya dua-tiga tahun ke depan. Tak elok hidup di penampungan darurat berlama-lama. Sudah tak patut menyebut darurat ketika begitu banyak orang sanggup menolong dan berkorban untuk mereka.
Dengan begitu, pegiat kemanusiaan bisa mewujudkan harapan KH Ahmad Fauzi Armandaris, salah seorang anggota Komisi Fatwa MUI Kepulauan Riau, saat menemui ACT di Jakarta. ”Saya titip pesan, pastikan di shelter-shelter yang dihuni pengungsi, adzan lima waktu tetap berkumandang. Ini meneguhkan semua yang terlibat menolong sesama manusia, bukan demi pengungsi saja,” kata Ahmad Fauzi.
Peringatan Ustadz Ab Sa’ad, pemimpin tim kemanusiaan dari Jamaah Radio Roja Cileungsi Bogor yang sudah beberapa hari menyalurkan bantuan para pendengar Radio Roja dan Tim Peduli Muslim, juga bisa diwujudkan. Abu Sa’ad mengingatkan, ketika kami bersua dalam silaturahim merancang langkah efektif menolong Rohingya.
Menurut Abu Sa’ad, kondisi pencari suaka yang ditampung di Aceh, tak seperti pengungsi bencana umumnya. Mereka keluarga tak utuh, komposisi lelaki-perempuan pun, tidak selalu punya muhrim. “Demi menghindari bencana sosial dan moral ke depan, shelter serupa pengelolaan pesantren, di mana area laki-laki dan perempuan tegas batasnya, perlu disiapkan secepatnya. Apalagi ini di provinsi bersyari’at, tentu sangat menunjang pewujudan konsep ini.”
Harapan orang-orang baik ini, bersama ribuan bahkan mungkin jutaan orang baik negeri ini maupun di banyak negara, kian menunjukkan titik terang. Gayung telah bersambut. Diplomasi tim ACT bersama elemen masyarakat lokal di Aceh, melahirkan kabar bagus: pemerintah Aceh Utara menyiapkan sebidang tanah agar segera bisa berdiri shelter di atasnya. Ukurannya mungkin belum ideal, tapi ini menjadi modal awal. Di Aceh Utara tepatnya di Gampong Blang Ado Kecamatan Kuta Makmur, pemerintah kabupaten menyediakan 5 hektare (ini belum cukup untuk 1,800 jiwa).
Diplomasi, menjadi fase penting sejarah kemerdekaan Indonesia. Diplomasi pun hal penting menoreh sejarah kemanusiaan Indonesia hari ini. Bukan sekadar ranah dalam negeri mencakup pencari suaka yang masuk wilayah NKRI, tapi juga menyangkut masa depan etnis Rohingya yang sudah dipaksa berdiaspora ke seluruh dunia.
Indonesia, makin serius menegakkan hukum demi kemaslahatan bangsa dengan mengeksekusi mati pengedar narkotika termasuk warga asing. Indonesia tegar menghadapi kecaman dunia karenanya. Maka bukan soal berat bagi Indonesia memperjuangkan pemulihan hak-hak kewarganegaraan etnis Rohingya dari Myanmar. Negara sebesar Indonesia, punya diplomat handal dari masa ke masa, dengan keseriusan, mampu menolong tuntas nasib Rohingya.
Memanusiakan manusia memang rumit dan perlu waktu, tapi pembiaran lebih dari dua dasawarsa sehingga populasi etnis Rohingya nyaris habis di Myanmar, lari dan tetolak di berbagai negara setelah berkurang karena tewas di perjalanan, sungguh sikap berdarah dingin yang harus disudahi.
Myanmar dengan Rohingya-nya terus diulik lintas waktu. Satu masa, ada aroma kuat bisnis gas ribuan kilometer kerjasama Cina-Myanmar yang pernah mengundang protes etnis Rohingya di Arakan lantaran mereka krisis listrik dan ketertinggalan dibanding wilayah lain, di tengah gebyar eksplorasi gas yang pipa-pipanya mengular membelah wilayah Arakan. Padahal Rohingya sudah lama hidup di Arakan, kawasan enklaf Muslim Rohingya.
Adapula paparan seputar ekses perang dunia kedua saat Inggris menjajah wilayah ini. Rohingya di Arakan ketika Jepang membombardemen Burma, memilih berpihak pada Inggris, pilihan yang kerap dipersoalkan etnis lain yang kini menyatu menjadi Myanmar. Lalu tahun 1982, Undang-undang Myanmar menghilangkan hak kewarganegaraan Rohingya, mencap Rohingya sebagai imigran Bengali dari Bangkladesh.
Di tengah pembenaran atas berbagai pengusiran atas Rohingya, tahun 2012 beredar cerita kriminal yang tak tuntas, menyebut Muslim Rohingya memerkosa perempuan Buddha, kejadian mikro yang seolah menjadi alasan pembenar pengusiran, pembakaran, pembantaian masif atas Rohingya. Berpuluh ribu orang sudah lari dari Myanmar, dibolehkan berlindung di Bangladesh (60ribuan), Malaysia (45ribuan), ditolong Arab Saudi ribuan orang, ada yang diperbudak di Thailand, Indonesia: belum termasuk yang sejak lama memberi kesempatan Rohingya terlindungi.
Dengan jumlah kurang dari 2,000 orang Rohingya masuk Indonesia, Kepala Negara dan pembantu-pembantunya sudah mengutarakan keseganan bersebab anggaran: pangan, pemukiman, dan lainnya.
Angka sebegitu saja sudah menakutkan, pada saat ribuan warga Indonesia di dalam dan luar negeri mengirimkan harta benda mereka demi menolong Rohingya; tatkala berbagai lembaga maupun pribadi beragam bangsa, bukan saja ‘siap’ tapi sudah datang langsung ke Aceh membuktikan kesungguhannya menolong. Ini menu langit pembuka Ramadhan, Indonesiaku, jangan buang kesempatan emas menebus diamnya kita atas berbagai krisis kemanusiaan yang bahkan sudah melenyapkan banyak jiwa di kawasan ini.
Otoritas pemegang mandat kekuasaan dari rakyat sudah berkomunikasi merujuk aturan formal yang diyakininya. Rakyat Indonesia pemberi mandat atas kekuasaan itu berkomunikasi dengan hati nuraninya. Sebagai pemerintah yang didukung rakyat, ditopang suara wong cilik se-Indonesia, ini saat yang baik membuktikan rakyat telah memilih pemimpin benar yang sejalan dengan kehendak rakyat.
Sebentar lagi datang Trisuci Waisak yang diperingati umat Buddha sejagat – umat yang saat ini masyhur disebut pemicu kebencian atas Muslim Rohingya di Myanmar. Pun, kurang dua pekan lagi Muslim sedunia menjalani Puasa Ramadhan: bulan penuh berkah, bulan menyucikan diri dari nafsu duniawi dan ketakutan bersebab selain Sang Maha Kuasa. Dua umat besar dunia ini sedang menuju momentum membersihkan jiwanya.
Masihkah umat Buddha menjalani laku puja bakti, meditasi dan berkegiatan sosial-budaya tanpa sungguh-sungguh menghentikan apa yang terjadi di Myanmar? Sementara tema Trisuci Waisak 2559 ini “Dharma Melindungi yang Melaksanakan”?
Masihkah kaum Muslimin sedunia, wabil khusus di Indonesia, yakin mendapat keberkahan, kesucian diri, berlipat pahala dalam semua amal Ramadhan dan puasanya tanpa ikhtiar konkret sesuai kemampuannya, menyudahi penzaliman atas Muslim Rohingya. Dalam urusan keselamatan manusia, berapapun jumlahnya: satu apalagi berjuta jiwa, batas bangsa, negara dan agama tunduk di bawah kemanusiaan. Hanya ajaran kegelapan membenarkan penghapusan manusia dari muka bumi hanya karena berbeda keyakinan.
Menolong sendirian, lembaga kemanusiaan bahkan negara tertentu sendirian, pasti berat. Tapi tidak untuk sebuah kebersamaan. Kerja kemanusiaan, seperti jargon kondang yang kerap disebut Wapres JK, perlu cepat dan tuntas terlebih menyangkut hidup banyak orang.
Bersama, Indonesia mampu meneladankan kemanusiaan sejati dalam menolong Rohingya dengan tuntas, baik yang kini di Indonesia, yang berdiaspora ke berbagai negara maupun yang masih di Myanmar. Kami yakin, Pak Presiden, rakyat Indonesia bisa memimpin amal kemanusiaan atas Rohingya di Indonesia dan dunia. Akyat Indonesia siap dan mampu menolong Rohingya. Mari saling mengokohkan kemanusiaan negeri ini.