REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif
Setiap kali kata optimisme hendak kita lukis di atas kanvas kehidupan bangsa, selalu saja menerjang badai pesimisme yang menggentarkan. Perayaan Idul Fitri dan Hari Kemerdekaan Indonesia mestinya memantulkan semangat optimisme jiwa pemenang. Namun memburuknya perekonomian, kerentanan politik, dan dekadensi keadaban publik yang kita alami, membuat cuaca kebatinan bangsa ini diliputi kabut pesimisme.
Dalam situasi paradoks seperti itu, yang kita perlukan untuk menyongsong langit harapan bukanlah suatu optimisme yang buta, melainkan suatu optimisme yang fleksibel—optimisme dengan mata terbuka. Kita harus bisa menggunakan pesimisme untuk menumbuhkan rasa keterpautan dengan realitas karena kesanggupannya untuk melihat situasi secara lebih akurat. Meski demikian, kita tidak perlu hanyut dalam bayang-bayang kegelapan yang akan membuat kita terpenjara dalam ketidakberdayaan.
Pemikiran konvensional beranggapan kesuksesan menciptakan optimisme. Padahal, bukti menunjukkan sebaliknya. Seperti diungkap oleh psikolog Martin Seligman, optimisme cenderung mendorong pada kesuksesan. Tetapi optimisme harus berjejak pada realitas dan visi.
Tanpa keduanya, optimisme hanya sekadar lamunan kosong yang mengarahkan kita ke jalan sesat. Untuk berjejak pada realitas, yang diperlukan adalah kejujuran untuk menerima kenyataan. Kita tidak bisa menutup mata akan kebenaran dan kenyataan adanya berbagai krisis yang mengancam kehidupan bangsa. Kita tidak bisa bersikap tenang-tenang saja, seolah-olah keadaan bangsa ini baik-baik saja; on the right track.
Melebihi dugaan semula para ahli, krisis multidimensional yang mendera Indonesia saat ini bukanlah sembarang krisis yang bisa dihadapi secara tambal sulam. Krisis ini begitu luas cakupannya dan dalam penetrasinya, menyerupai situasi ”zaman peralihan” (axial age) dalam gambaran Karen Armstrong (2006). Zaman jahiliyah (kalabendu) yang penuh prahara, pertikaian, kedunguan, kehancuran tata nilai dan keteladanan.
Sekitar delapan dekade yang lalu, Mohandas K. Gandhi menengarai adanya ancaman yang mematikan dari “tujuh dosa sosial”: ‘politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, sains tanpa humanitas, dan peribadatan tanpa pengorbanan’. Ketujuh dosa ini sekarang telah menjadi warna dasar dari kehidupan kita.
Kehidupan kota (polis) yang mestinya menjadi basis keberadaban (madani) terjerumus ke dalam apa yang disebut Machiavelli sebagai “kota korup” (citta corrottisima), atau apa yang disebut Al-Farabi sebagai “kota jahiliyah” (almudun al-jahiliyyah).
Di republik korup dan jahil, persahabatan madani sejati hancur. Tiap warga berlomba mengkhianati negara dan sesamanya; rasa saling percaya lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan; hukum dan institusi lumpuh tak mampu meredam perluasan korupsi; ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela. Akhirnya timbul kematian dan pengasingan: kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan.
Paling nyata kita hadapi hari ini adalah ancaman krisis perekonian seperti ditandai oleh merosotnya nilai tukar rupiah, jatuhnya indeks saham gabungan, jatuhnya harga komoditi andalan, menurunnya penerimaan pajak, serta ancaman pemutusan hubungan kerja dalam skala massif.
Selain itu, kita juga dihadapkan pada ancaman lima macam krisis yang ditengarai oleh Bung Karno pada 1952. Pertama, krisis politik, yang membuat banyak orang tidak percaya lagi kepada demokrasi. Kedua, krisis alat-alat kekuasaan negara. Ketiga, krisis cara berpikir dan cara meninjau. Keempat, krisis moral. Kelima, krisis gejag (kewibawaan otoritas).
Kelima macam krisis itu seakan berdaur ulang mengancam kehidupan demokrasi hari ini. Bertahun-tahun pemerintahan demokratis diperjuangkan oleh gerakan reformasi dengan keringat dan darah. Namun, ketika kesempatan itu diraih, politik dirasa kurang berkhidmat bagi kepentingan orang banyak; aparatur negara sejauh ini belum mampu menegakkan hukum dan ketertiban; politisi dan pejabat negara kurang memperhatikan visi dan wawasan perjuangan; perilaku politik dan birokrasi tercerabut dari etika seperti terpisahnya air dengan minyak. Adapun orang-orang yang menggenggam otoritas justru saling bertikai, berlomba menghancurkan kewibawaan negara.