Selasa 12 Jan 2016 19:37 WIB

Mengapa Orang-orang tak Marah?

harga sembako/bahan pangan yang mengalami kenaikan harga(illustrasi)
Foto: Republika-Aditya Pradana Putra
harga sembako/bahan pangan yang mengalami kenaikan harga(illustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami/ Wartawan Republika

Jadi begini. Pada akhir tahun lalu, Bank Dunia bikin laporan. Dia orang mencatat bahwa rasio Gini, indikator yang menunjukkan kesenjangan pendapatan, di Indonesia mencapai 0,41 poin. Tahun ini, dalam perkiraan Bank Dunia, ia bisa mencapai 0,42 bila keadaan tak diperbaiki.

Rasio Gini tak dihitung dalam angka besar. Poin 0 artinya tak ada kesenjangan sama sekali, sedangkan angka 1 menunjukkan ketimpangan mutlak.

Mesir, sewaktu bergolak, rasio Gini-nya 0,43 persen. Artinya, kondisi di Indonesia bukan menggembirakan. Ia berada di ambang jurang. Sedikit dorongan, ia terjerembab dalam pusaran perang kelas. Tapi mengapa tak sedemikian terdengar suara orang-orang yang marah?

Harga daging, beras, ayam, rerupa hasil tani macam beras, bawang, dan cabai, juga bukan murah lagi sekarang. Mengapa orang-orang tak marah?

Ratusan ribu buruh telah di-PHK sejak pertengahan tahun lalu. Ribuan lainnya dirumahkan. Sementara pekerja-pekerja asing bakal dapat akses masuk Indonesia. Mengapa orang-orang tak marah?

Mari bicara statistik terlebih dahulu. Lagi-lagi menurut Bank Dunia, jumlah kelas menengah di Indonesia beberapa tahun belakangan mencapai sekitar 56 persen. Banyak? Nanti dulu.

Kalau dibedah lagi parameternya, jumlah itu sebagian besar ditopang oleh manusia-manusia Indonesia dengan penghasilan Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta yang mencapai 38 persen dari total penduduk Indonesia. Zaman begini, bisa makan apa dengan Rp 1,5 juta per bulan?

Kalau saya yang bikin hitungan, saya dengan suka hati memasukkan dia orang ke dalam kelas bawah. Dengan begitu, persentase masyarakat bawah bisa mencapai 70 sampai 80 persen.

Jumlah itu lebih masuk akal bila disatukan dengan laporan dari Internet Society dan lembaga konsultan TPRC yang dilansir September tahun lalu. Lembaga itu melaporkan bahwa penetrasi internet di Indonesia saat ini baru berkisar di angka 16 persen. Ironisnya, dengan jumlah penduduk sebegini, ia adalah angka terendah di ASEAN.

Menurut Internet Society, penetrasi internet tersebut juga dibayangi dengan kesenjangan pendapatan yang saya kabarkan di atas. Artinya, pengguna internet sebagian besar sekali datang dari kelas menengah dan atas.

Saya memaparkan itu statistik karena menurut saya, ia punya hubungan erat dengan pertanyaan mengapa suara mereka yang susah sekali hidupnya jarang terdengar. Terlebih bila statistik di atas diracik dalam tungku yang namanya media sosial.

Yang dibicarakan dan dibikin ramai 16 persen di internet, tentunya sebagian besar adalah hal-hal yang menurut mereka penting. Hal-hal model layanan transportasi pesawat yang kacau, ojek daring yang mau dihentikan pemerintah, demo buruh yang bikin macet. Atau barang-barang abstrak macam langgam baca Alquran, kesetaraan jender, kecenderungan beragama, laku anggota DPR, tingkah Presiden. Atau barang-barang sepele yang bikin hidup mereka yang sedianya tak begitu sengsara itu jadi agak lebih susah. Lekas berpindah dari satu isu ke isu lain saat yang mula-mula belum punya penyelesaian.

Sebagian media dengan suka hati merengkuh itu perdebatan-perdebatan dunia maya. Wajar saja, karena untuk media daring terutama, 16 persen yang berdebat itulah penyambung profit mereka.

Pemerintah juga ikut-ikutan. Bila yang ramai di media sosial lekas sekali mengambil sikap, sementara ribuan yang demo turun ke jalan dia abaikan saja. Yang mati di dunia nyata seperti jadi tak sedemikian penting lagi bila tak naik di status facebook atau kicauan twitter para warga maya.

Barangkali banyak sekali orang sebenarnya sudah marah. Hanya saja, mereka yang marah ini terbungkam suaranya sama keriuhan para netizen. 28,59 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan dan banyak lagi yang tak punya akses internet itu jadi semacam hantu saja.

Pada akhirnya, media sosial bisa juga jadi sejenis pembungkam suara-suara kelas bawah. Dalam hal itu, ia tentunya jadi berkah untuk pemerintahan yang malas tahu dengan problem-problem riil yang dihadapi masyarakat di golongan terbawah.

Jangan-jangan ia bakal mengubah peran negara. Negara yang mestinya jadi penolong mereka-mereka yang paling lemah kedudukannya di masyarakat, justru malah jadi semacam kepanjangan tangan kelas menengah dan menengah ke atas saja.

Untuk jangka panjang, ini berbahaya. Sudah berulang kali terekam sejarah, saat segolongan merasa tak didengar lagi suaranya, mereka bisa menyalurkan kegelisahan melalui keluaran-keluaran yang destruktif.

Tak ada masa yang lebih baik dari sekarang bagi kelas menengah, media massa, maupun pemerintah untuk turun dari menara gading yang namanya media sosial. Pasang telinga baik-baik, dan dengarkan kegalauan mereka-mereka yang tak punya suara.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement