REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Frederikus Bata, Jurnalis Republika untuk Isu-Isu Sepak Bola.
Era Buffon, Andrea Barzagli, De Rossi, dan Giorgio Chiellini telah berlalu.
Mendung bergelayut di ranah Italia. Untuk kali pertama sejak 1958, Gli Azzurri gagal menembus Piala Dunia. Event empat tahunan sepak bola terakbar di jagat bumi itu akan kehilangan deretan gladiator negeri Piza. Dunia bereaksi. Media ternama di Jerman, Inggris, Prancis, dan berbagai negara lainnya, ramai-ramai menuliskan kegagalan Gianluigi Buffon dan rekan-rekan.
Pada babak play-off, anak asuh Gianpiero Ventura tak mampu menembus rapatnya pertahanan Swedia. Dalam dua laga, Laskar Skandinavia unggul agregat 1-0. Italia yang terkenal dengan Catenacio kena batunya.
Menilik catatan Gli Azzurri dari kualifikasi, tak berlebihan jika tim tersebut akhirnya menempuh jalur play-off. Si Biru berada satu grup dengan Spanyol. Nama kedua ini memang sedang bagus-bagusnya di era sepak bola modern.
Baca Juga: Infografis Tak Ada Italia di Piala Dunia
Namun, mental juara Italia pantas mendapat kritikan saat melawan Swedia. Tanpa kreasi berarti, Daniele De Rossi cs menyerang secara frontal. Dalam berbagai pernyataan, Ventura tak mengakui hal itu. Ia menilai, permainan fisik tim lawan menyulitkan mereka. Namun, terlihat ada yang perlu disorot dalam skema terapannya. Ketika butuh kemenangan, Gli Azzurri justru memakai formasi 3-5-2.
Tak ayal, permainan crossing-crossing tampak begitu monoton sepanjang pertandingan. Kreativitas lini tengah jarang terlihat. Legenda sekelas Andrea Pirlo hingga juru taktik kenamaan Arrigo Sacchi merasa heran saat Ventura tak menurunkan tiga penyerang.
Sang allenatore bahkan memarkir Lorenzo Insigne pada leg kedua di San Siro. Berbagai akumulasi teknis tersebut bermuara pada kegagalan melenggang ke Rusia yang menjadi tempat penyelenggaraan Piala Dunia tahun depan. Laga antiklimaks bagi superhero bernama Buffon yang pensiun lebih awal dari target.
Apa pun itu, Italia butuh revolusi skuat. Ketika negara tersebut sedang berjaya, mereka kental dengan pertahahan grendel dan serangan balik. Namun, di era terkini, sepak bola lebih ingin bermain-main.
Penguasaan bola dengan kreasi di sepertiga pertahanan lawan lebih efektif dari catenacio. Tengok saja kiprah Spanyol dan Jerman. Juga di level klub ada Barcelona, Manchester City, hingga Napoli.
Nama besar sebagai jawara empat kali Piala Dunia, hendaknya dipinggirkan. Era Buffon, Andrea Barzagli, De Rossi, dan Giorgio Chiellini telah berlalu. Italia perlu mencoba pemain muda macam Daniele Rugani, Allesio Romagnoli, hingga Mattia Caldara di jantung pertahanan.
Di lini tengah tak banyak berubah dengan jenderal bernama Marco Verratti, plus pemuda seperti Manuel Locatelli, hingga Roberto Gagliardini. Di area penyerangan, selain butuh bomber semacam Ciro Immobile, Simone Zaza, Andrea Belotti, dan Mario Balotelli, Azzurri juga perlu pemain yang mampu melebar, bergerak ke sayap.
Ada nama Insigne, Federico Bernardeschi, hingga Stephan El Shaarawy. Kemudian Fabio Borini yang tampil reguler di AC Milan. Penggawa serbabisa seperti Leonardo Spinazzola, dan Alessandro Florenzi menjadi alternatif.
Paling penting, Italia harus terbiasa menyerang. Tinggalkan catenacio yang mulai usang. Dengan merevolusi skuat, gairah baru menuju Piala Eropa 2020 bisa terlihat.
Dan, nikmatilah hajatan di negeri Beruang Merah itu pada akhirnya harus kehilangan salah satu figur juara yang justru telah tersisih secara dini sebelum Piala Dunia digulirkan. Semoga saja, saat Piala Dunia bergulir, tim-tim bernama besar yang sudah langganan menjadi juara ternyata harus angkat koper lebih awal.