REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha
Seorang aktivis antikorupsi geram dengan pola gerak lembaga pemberantas korupsi. Sampai kapanpun, jumlah aparat tak mungkin bisa mengejar jumlah koruptor. Karena itu, strategi terbaik adalah mengedepankan pencegahan, bukan menonjolkan strategi penindakan. Namun seperti di negeri jenggo, jago tembak lebih dihargai daripada pendakwah. Dan kita menyaksikan jumlah koruptor bukan berkurang tapi terus bertambah. Seperti kata Mahfud MD, korupsi sekarang makin menggila.
Sesuai laporan tahunan 2012 yang diterbitkan KPK, kita harus menghargai tekad mereka. “Bila sebelumnya bidang penindakan yang menonjol, setidaknya lebih seksi di mata khalayak, maka ke depan bidang pencegahan pun akan ditingkatkan.”
Berdasarkan amanat reformasi, kita membentuk KPK pada Desember 2003. Komisi ini memiliki landasan hukum yang cukup, kewenangan yang lengkap dan kelembagaan yang kuat, serta dukungan publik yang luar biasa. Hal ini berbeda dengan lembaga-lembaga sejenis yang pernah dilahirkan sebelumnya. Misalnya kita pernah mengenal Panitia Retooling di masa kabinet Djuanda, Operasi Budhi (1963), di masa Orba ada Komite Empat dan Operasi Tertib, dan sejak reformasi ada KPKPN (1999) dan TGPTPK (2000). Semua lembaga itu ompong dan rontok dengan cepat.
Tak terasa KPK akan berusia 10 tahun pada tahun ini. Lembaga ini telah memiliki lima ketua, termasuk ketua sementara Tumpak Panggabean. Namun yang benar-benar menyelesaikan masa tugasnya hingga akhir baru Taufiequrrahman Ruki. Antasari Azhar dicopot, Busyo Muqoddas hanya setahun, dan kita berharap Abraham Samad menjalaninya sesuai masa jabatannya.
Hingga 2012, KPK telah menerima 57.964 pengaduan, menangani 283 perkara, serta jumlah tersangka dan terdakwa 337 orang. Sedangkan lembaga yang terlibat mencakup DPR (32 orang), kementerian/lembaga (111), BUMN/BUMD (22), komisi (20), pemprov (38), dan pemkab/pemkot (60). Dari semua itu, sejumlah 145 orang berasal dari lembaga di pusat.
Tanpa mengurangi penghargaan atas prestasi dan kemajuan yang dicapai KPK, sebetulnya belum ada kemajuan yang signifikan. Mari kita lihat ranking Indonesia dalam hal pemberantasan korupsi seperti yang dilansir Tranparansi Internasional. Ketika KPK didirikan, indeks persepsi korupsi Indonesia pada tahun 2003 menempati ranking 122 dari 133 negara yang disurvey. Pada 2012, rankingnya membaik menjadi 118 dari 176 negara. Skornya pun membaik dari 1,9 pada 2003 menjadi 3,2 pada 2012. Adapun skor tertinggi adalah 10. Namun demikian, peningkatannya sangat lambat. Bahkan ranking kita di bawah Timor Leste. Pada tahun 2012, negeri 'bekas wilayah Indonesia' itu menempati ranking 113.
Walaupun KPK bertekad untuk menonjolkan aspek pencegahan, namun faktanya jumlah pegawai bidang penindakan masih lebih banyak dibandingkan jumlah pegawai bidang pencegahan, yaitu 190 berbanding 134. KPK harus segera membalik komposisi perbandingan tersebut. Tentu bukan mengurangi jumlah pegawai bidang penindakan, tapi justru dengan menambah jumlah pegawai bidang pencegahan. Bahkan secara total, jumlah pegawai KPK masih terlalu sedikit. Saat ini baru memiliki 674 orang. Namun sedikitnya jumlah pegawai bukanlah pembenar atas segala kritik terhadap komisi ini.
Jatuh-bangunnya ketua KPK, dan terakhir ada kasus cicak-buaya serta bocornya sprindik, merupakan indikasi kuat bahwa di lembaga ini menyimpan masalah. Namun kecenderungan sebuah favoritisme, kita menjadi melankolis dan romantis. Pilihannya hanya menangis-mendayu atau marah. Dan seperti di negeri jenggo, kita cenderung menjadi hitam-putih. Bandit pasti salah, dan jagoan pasti benar. Dalam konteks KPK bahkan institusi ini telah menjadi petir. Siapapun yang menyentuh dan tersentuh pasti akan hangus. Maka hingga kini tak ada orang bersih yang cukup berani untuk menjadi pengingat KPK. Mereka takut hangus atau bisa jadi mereka ternyata hanya bagian dari masyarakat romantik di negeri jenggo. Kita butuh manusia rasional.
Para pengritik KPK justru politisi, sebuah profesi yang kini sedang tak cukup terhormat. Mereka misalnya menyebut lembaga ini tebang pilih, diintervensi, dan bagian dari suatu konspirasi. Intinya adalah lembaga ini tak cukup independen dari tekanan kekuatan politik. Para komisionernya dinilai mewakili kekuatan-kekuatan politik tertentu. Walau bagaimana pun kita harus mencerna kritik itu secara jernih. Jika memang kritik itu salah ya kita abaikan. Jika kritik itu benar maka kita harus bisa mengingatkan KPK. Pada sisi lain, para politisi harus segera menjadikan KPK sebagai lembaga yang lebih baik dengan menambah pegawainya secara signifikan.
Korupsi yang menggila itu pasti bukan semata masalah penegakan hukum. Tapi juga karena ada dukungan sosial dan budaya. Jadi selain ada kesempatan dan 'ketakberdayaan' aparat, juga karena ada pembenaran. Pembenaran itu misalnya orang jujur itu tak akan kebagian, atau korupsi sudah menjadi hal lumrah. Juga misalnya hanya orang kaya yang bisa menikmati Indonesia. Selain itu, kritik dari politisi itu juga menjadi pembenar. Misalnya, ayo korupsi, yang penting kita bagian dari kekuatan politik tertentu. Toh yang ditangkapi KPK hanya lawan-lawan kekuatan politik tersebut. Jadilah korupsi makin menggila.
Apapun, pemberantasan korupsi justru utamanya bukan menangkapi koruptor, tapi mencegah terjadinya korupsi. Jadi selain menangkapi koruptor, yang terpenting lagi adalah mengubah cara berpikir masyarakat dan menghancurkan nilai-nilai yang dianggap sebagai pembenar tindak korupsi.